Ini adalah seri 'laporan khusus' setahun kami menginjakkan kaki di bumi Kuwait, dalam rangka mengenang, merenung dan mensyukuri apa yang sudah diberikan oleh-Nya kepada kami selama kami di sini.
Balik lagi setahun lalu. Proses adaptasi yang lumayan jungkir balik adalah adaptasi lidah dan perut pada menu makanan. Bagaimana bisa mengisi perut dengan makanan yang cocok tapi juga gampang didapat dan ngga mahal. Seperti yang terlihat pada diagram, pada awal-awal kedatangan kami jenis makanan yang populer adalah fast 'junk' food. Cocok di lidah, gampang didapat dan relatif murah. Tapi ngga sehat lah kalau tiap hari dijejelin 'junk'.
(click to enlarge)
Solusi makan alternatif saat hari kerja adalah tikka, kebab, roti kobus atau nasi briyanni -- seperti nasi uduk disiram bawang goreng diberi kuah kari. Atau sesekali keroyokan makan martabak Fteera atau ngemil Shawarma. Kalau dompet lagi tebel -- habis gajian -- mampir ke restoran Filipina untuk melahap Chinese Food atau ke Avenue Mall menggasak menu khas restoran Noodle Factory : Bakmi Goreng Indonesia seharga 2,5 KD atau sekitar Rp 75.000!!
Saat akhir pekan, mie instant menjadi pengganjal perut. Atau kadang merebus sarden dan kornet untuk pelengkap menu nasi putih :D
Setahun kemudian, dapur Mamin menjadi dewi penyelamat. Bahkan Aji, Daud dan Yoswar sudah memberanikan diri bertempur di dapur menyiapkan hidangan untuk mereka sendiri. Alhamdulillah kami sudah menemukan cara-cara alternatif untuk mengisi perut, seperti belanja bahan-bahan makanan khas Asia, nemu rempah-rempah, dan tempat belanja murah seperti Lulu atau City Market. Sehingga, pada diagram di atas, posisi mie instant bisa digantikan dengan masakan sendiri yang dijamin cocok dengan selera kampung halaman, murah, gampang didapat dan tentu saja sehat.
No comments:
Post a Comment