Salah satu sarana hiburan yang langsung dapat kita nikmati saat dilanda stres adalah televisi. Sayangnya, saat ini jenis hiburan di kotak ajaib ini, hampir semuanya sama, terutama sinetron. Semua stasiun televisi mengetengahkan sinema elektronik dengan tema yang tidak jauh-jauh dari dunia ABG, perebutan warisan, anak cacat mental yang tersiksa, kisah ibu yang kejamnya minta ampun pada anak tirinya, sampai pada kisah-kisah yang menyisipkan kuntilanak di dalamnya.
Lantas apa yang janggal? Hampir semuanya melegalkan kekerasan! Baik secara fisik maupun verbal. Tak sedikit, sinetron yang memproklamirkan dirinya sebagai sinetron anak-anak, juga mengumbar pemukulan secara fisik dan perendahan harga diri melalui kata-kata berbau kebun binatang. Anehnya biarpun ngomel, banyak yang terhipnotis untuk tetap terus menonton. Yang pasti, karena pihak pembuat mempunyai strategi pemasaran dengan memajang muka-muka ganteng dan ‘bening’, menampilkan kemewahan yang banyak jadi mimpi masyarakat kita, serta alur cerita yang berkelok-kelok sehingga membuat penasaran.
Bertambahnya stasiun televisi, berarti bertambah pula daerah okupasi dunia sinetron. Tapi bukan berarti tema-tema yang ditawarkan semakin variatif. Coba saja perhatikan, ceritanya masih berkutat di situ-situ saja, dengan kekerasan fisik dan verbal sebagai bumbu penyedap yang paling dominan. Keadaan seperti ini berlangsung terus selama bertahun-tahun. Yang sangat menyedihkan adalah, tidak adanya kesadaran para produsen akan potensi efek yang ditimbulkan terhadap masyarakat, terutama anak-anak, yang notabene adalah imitator sejati. Tidakkah mereka bayangkan, bahwa hasil karya mereka dapat mengarahkan seseorang untuk berbuat hal yang sama, karena menurut penonton, itu wajar, kok…lha wong di sinetron-sinetron aja diumbar dan menjadi bagian dari hidup sehari-hari!
Membicarakan hal ini, sepertinya tak akan pernah ada habisnya. Lagi-lagi rating dan selera pasar yang dijadikan tameng bagi para produser. Alasan bahwa masyarakat kita senang dengan hal-hal seperti itu, selalu dijadikan dalih untuk terus memproduksi sinetron-sinetron dengan tema kekerasan dan mistik. Bisa ditebak, ujung-ujungnya duit yang berbicara. Siapa yang tidak ngiler, hanya dalam semalam sebuah tayangan sinetron bisa meraih untung hingga milyaran rupiah, baik bagi stasiun televisi sebagai penayang ataupun bagi para produsen.
Pihak produser hendaknya menjadi kreatif mencari celah membentuk selera pasar baru, tentunya yang mempunyai potensi efek positif. Jangan sampai produser pasrah terhadap keinginan penonton. Karena penonton senangnya dengan hal tersebut, akhirnya dijejalilah mereka dengan muatan-muatan berbau negatif yang itu-itu terus.
Lihat saja sinetron Keluarga Cemara atau Si Doel Anak Sekolahan. Mereka sukses membentuk “rasa” baru dalam adonan kue sinetron Indonesia. Berarti kemungkinan untuk membentuk selera masyarakat ke arah yang lebih baik, sebenarnya ada kan?
Di sisi lain, masyarakat sebagai penonton juga harus berperan aktif, menjadi penonton yang cerdas dan kritis. Penonton yang bisa selektif memilah-milih mana tayangan yang terbaik bagi dirinya. Kalau tidak berkenan di hati, ya tidak usah ditonton. Toh, tak ada yang memaksa untuk terus nongkrong di depan pesawat televisi.(Dita)
No comments:
Post a Comment