Masih segar dalam ingatan saya pengalaman melahirkan putri pertama kami. Saya mengalami proses yang cukup lama dan sulit, karena pembukaan mulut rahim saya tergolong lambat. Rasa lelahnya benar-benar tak terbayangkan dan tak bisa dijelaskan.
Tiga hari di rumah sakit, saya manfaatkan untuk memulihkan tenaga. Dan mulai “berkenalan” dengan peri kecil kami. Ketika tiba waktunya pulang ke rumah, mulai bermunculan pikiran-pikiran tak terkontrol yang memenuhi kepala saya. Ada rasa bahagia, rasa senang, rasa haru saat mendekap mahluk mungil ini, sekaligus bercampur dengan rasa tak mampu mengurus anak dan rasa lelah yang membuat saya sering menangis tiba-tiba, tak jelas penyebabnya. Awalnya saya tak menyadari apa yang saya alami ini. Saya hanya mencoba menangis sepuasnya di pundak suami saya. Lalu terlintas dalam pikiran saya, inikah yang namanya “baby blues”? Apakah saya mengalami “baby blues”?
Akhirnya saya berusaha mencari tahu. Ternyata saya tidak sendiri, hampir 80% wanita yang baru pertama kali melahirkan, pernah mengalami hal ini. Setidaknya kenyataan ini sedikit memperingan beban pikiran saya. Dan berkat dukungan dari suami beserta keluarga, saya berhasil melewati masa penuh haru biru itu.
Apa sih “baby blues” itu?
Kelahiran bayi membuat perubahan besar pada tubuh dan hidup kita. Cukup masuk akal kalau dikatakan bahwa penyebab utamanya adalah perubahan hormon-hormon yang drastis. Kadar estrogen dan progesteron turun mendadak setelah peristiwa kelahiran. Inilah yang disinyalir menjadi penyebab munculnya depresi atau “baby blues” atau biasa juga disebut postpartum blues alias sindrom depresi paska melahirkan.
“Jabatan” baru sebagai “new Mommy”, yang berarti pula tanggung jawab baru yang sebelumnya tak pernah kita bayangkan, membuat kita terkejut.
Keletihan setelah melahirkan ditambah lagi dengan kesibukan mengurus bayi, yang seakan tidak ada habisnya, makin membuat kita merasa tidak mampu memenuhi tuntutan untuk menjadi seorang Ibu.
Munculnya perasaan kehilangan diri kita yang dulu juga lazim dirasakan. Bersamaan dengan lahirnya bayi, kita merasakan tidak sebebas dulu lagi. Belum lagi masalah penampilan yang juga berubah. Sebelumnya kita gemuk karena hamil, sekarang kita hanya gemuk saja. Baju-baju sebelum kita hamil tidak ada yang muat lagi, sementara kita tidak ingin lagi mengenakan pakaian hamil.
Satu-satunya kenyataan yang menyenangkan adalah hal ini tak akan berlangsung lama. Paling-paling bertahan antara satu minggu hingga satu bulan.
Bagaimana kita tahu kita mengalami “baby blues”?
Gejala-gejala umum yang biasa dirasakan adalah :
1. kecemasan,
2. sedih atau perasaan kehilangan,
3. stres dan merasa tegang,
4. tidak sabaran dan mudah marah,
5. menangis tanpa sebab,
6. mood yang berubah-ubah,
7. sulit berkonsentrasi,
8. sulit tidur,
9. merasa lelah yang berlebihan,
10. tidak ingin keluar rumah, malas berdandan, dan malas membersihkan rumah.
Bagaimana menghilangkan sindrom ini?
“Baby blues” biasanya hilang dengan sendirinya. Bisa memakan waktu antara satu minggu hingga satu bulan. Beberapa hal yang dapat membantu kita melewati masa-masa ini adalah :
1. Bercerita pada orang yang pernah punya pengalaman sama, atau pada orang yang kita percaya, seperti Ibu, suami, dan sahabat.
2. Jika kondisi fisik kita sudah lebih baik, cari udara segar atau pergi refreshing bersama suami atau sahabat. Beri kesempatan pada diri kita sendiri untuk bisa merasakan kebahagiaan dan kesenangan.
3. Ikut kelompok-kelompok seperti mailing list, yang bisa men-support kita.
4. Minta para suami untuk membantu kita melaksanakan tugas sehari-hari dan libatkan dalam hal mengurus anak. Katakan pada mereka, bahwa kita butuh dukungan yang besar dari pasangan kita. Ceritakan pada mereka bahwa ini adalah pengaruh hormon dan tak akan berlangsung lama.
5. Terima bantuan yang ditawarkan orang-orang di sekeliling kita. Semua orang pasti paham, mengurus bayi pertama kali adalah pengalaman yang cukup berat.
6. Coba untuk tidur atau istirahat. Kurang tidur dapat memperparah keadaan ini. Minta bantuan Ibu atau saudara kita untuk menjaga bayi, sementara kita tidur.
7. Tak usah berpikir semuanya harus sempurna. Bayi adalah prioritas kita saat ini. Jika tak sempat membereskan rumah, tak usah memaksakan diri. Toh, semua orang juga bisa maklum. Saat ini, kita harus melepaskan atribut kita sebagai mrs. Perfect, mrs. Neat, mrs. Clean, dll, yang dapat makin membebani kita.
8. Makan makanan sehat. Beri tubuh kita nutrisi yang baik, apalagi kalau kita menyusui bayi kita.
9. Cintai diri kita sendiri. Menjadi Ibu dan melahirkan bayi adalah anugerah terindah yang pernah kita rasakan. Berbanggalah dengan “profesi” baru ini.
Depresi paska melahirkan yang parah, yang memerlukan terapi profesional, sangat jarang terjadi. Bila depresi ini berlangsung lebih dari sebulan, disertai kesulitan tidur, kurang nafsu makan, perasaan putus asa, keinginan untuk bunuh diri dan dorongan untuk menyakiti bayi sendiri, segeralah cari bantuan profesional.
Referensi :
1. www.thefamilycorner.com
2. Waiting for Bebe : A Pregnancy Guide by Lourdez Alcaniz.
3. What to Expect When You’re Expecting by Arlene Eisenberg, H. Murkoff, Sandy E. Hathaway.
Sunday, February 27, 2005
Thursday, February 24, 2005
Behind the Scene Promo Metro Pagi
Hari ini, sesuai dengan yang dijadwalkan, syuting promo Metro Pagi akan dilaksanakan di Bogor. Mengambil tempat di hotel Novotel, yang suasananya asoy buat para honeymooners. Settingnya memang pas banget dengan apa yang dimau. Agak-agak natural lah. Dan Tante Fe meminta bantuanku buat jadi model.
Aku janjian sama Tante Fe dijemput di RCTI jam 9 pagi. Rencananya kita memang akan berangkat agak pagian ke Bogor. Jam 08.30, aku udah sampai di RCTI. Sambil nunggu, browsing-browsing dulu di internet. Kira-kira jam 09.30, Tante Fe telpon, katanya baru bangun, semalem abis lembur sampe jam 3 pagi. Waks! molor deh waktunya!
Sekitar jam 10 kurang, Tante Fe sampe di lobby Annex RCTI, kita langsung cabut ke METRO TV. Preparation ini itu, beli perbekalan juga buat di jalan, kelar kelar baru jam 12 siang...hooeeehhh...gak berasa dah siang aja!!
Akhirnya kita baru berangkat sekitar jam 1an, itupun pake acara ketinggalan beberapa stuff properti syuting, jadi musti balik lagi ke kantor (Halo Wi :-), next time bawa asisten yah, biar lo gak kedodoran).
Sampe di Novotel Bogor sekitar jam 2an, mulai setting lampu, kamera dan lokasi. Dan aku juga mulai didandanin. And you know what? Ternyata masih ada yang ketinggalan! Properti jam antik. Buset deh musti ngambil ke Jakarta lagi...ohh No! (gak bikin call sheet ya, bu?) Setelah berembug, ternyata barang yang ketinggalan, diusahain dicari aja deh di Bogor. Akhirnya nemu juga tuh jam antik.
Take demi take berlangsung lumayan mulus, walaupun beberapa kali sempet mandeg buat diskusi dengan kameraman dan lightingman dulu (kok gak ada storyboardnya?). Gak terlalu banyak long shot dan full shot. Kebanyakan close up dan gambar-gambar padat.
Scene pertama adalah syuting di kamar mandi. Gak bugil lohh :-) Cuman pengen ngeliatin kaki orang keluar dari bak mandi sambil ngambil handuk.
Berikutnya adegan minum teh pagi-pagi sambil nonton TV, di teras hotel.
Setelah itu, ngambil set di tempat tidur...hihiihiiii kesannya bokep banget! Padahal cuman pengen nge-shoot orang matiin jam weker.
Sekitar jam tujuh-an, syuting selesai and it's a wrap! Sebelum balik ke Jakarta, dinner dulu di Novotel. Dah laper banget, dari siang belum makan.
Sampai Jakarta jam 10 malem, aku didrop di RCTI lagi, nyamperin Pinot.
Dan hasilnya? Tunggu aja on-airnya di METRO TV yah *wek* Buat penggemar gue, siap-siap kecewa...heheheheheheee. This time kalian cuman bisa menikmati tangan dan kakiku!
Aku janjian sama Tante Fe dijemput di RCTI jam 9 pagi. Rencananya kita memang akan berangkat agak pagian ke Bogor. Jam 08.30, aku udah sampai di RCTI. Sambil nunggu, browsing-browsing dulu di internet. Kira-kira jam 09.30, Tante Fe telpon, katanya baru bangun, semalem abis lembur sampe jam 3 pagi. Waks! molor deh waktunya!
Sekitar jam 10 kurang, Tante Fe sampe di lobby Annex RCTI, kita langsung cabut ke METRO TV. Preparation ini itu, beli perbekalan juga buat di jalan, kelar kelar baru jam 12 siang...hooeeehhh...gak berasa dah siang aja!!
Akhirnya kita baru berangkat sekitar jam 1an, itupun pake acara ketinggalan beberapa stuff properti syuting, jadi musti balik lagi ke kantor (Halo Wi :-), next time bawa asisten yah, biar lo gak kedodoran).
Sampe di Novotel Bogor sekitar jam 2an, mulai setting lampu, kamera dan lokasi. Dan aku juga mulai didandanin. And you know what? Ternyata masih ada yang ketinggalan! Properti jam antik. Buset deh musti ngambil ke Jakarta lagi...ohh No! (gak bikin call sheet ya, bu?) Setelah berembug, ternyata barang yang ketinggalan, diusahain dicari aja deh di Bogor. Akhirnya nemu juga tuh jam antik.
Take demi take berlangsung lumayan mulus, walaupun beberapa kali sempet mandeg buat diskusi dengan kameraman dan lightingman dulu (kok gak ada storyboardnya?). Gak terlalu banyak long shot dan full shot. Kebanyakan close up dan gambar-gambar padat.
Scene pertama adalah syuting di kamar mandi. Gak bugil lohh :-) Cuman pengen ngeliatin kaki orang keluar dari bak mandi sambil ngambil handuk.
Berikutnya adegan minum teh pagi-pagi sambil nonton TV, di teras hotel.
Setelah itu, ngambil set di tempat tidur...hihiihiiii kesannya bokep banget! Padahal cuman pengen nge-shoot orang matiin jam weker.
Sekitar jam tujuh-an, syuting selesai and it's a wrap! Sebelum balik ke Jakarta, dinner dulu di Novotel. Dah laper banget, dari siang belum makan.
Sampai Jakarta jam 10 malem, aku didrop di RCTI lagi, nyamperin Pinot.
Dan hasilnya? Tunggu aja on-airnya di METRO TV yah *wek* Buat penggemar gue, siap-siap kecewa...heheheheheheee. This time kalian cuman bisa menikmati tangan dan kakiku!
Sunday, February 20, 2005
Mendidik Anak
Tadi pagi saat sedang mendengarkan radio female, ada topik pembicaran menarik mengenai cara mendidik anak. Salah satu narasumbernya adalah bapak Krisnamurti seorang motivator dan mindsetter. Kalau boleh saya rangkum hasil pembicaraan penyiar dengan bpk Krisna adalah :
Mendidik anak itu gampang, menurut pak Krisna (wwhoooaaaa...bisa ditimpuk ibu2 sejakarta tuh bapak...huehehehehehe...kidding!!!) seperti menginstal program pd komputer yg kosong. Apa yg akan kita instal, program itulah yang akan dijalankan anak kita.
Menurut beliau, kuncinya adalah memahami bahasa otak anak. Bahasa otak anak adalah melalui bahasa gambar. Mereka seperti kita juga, akan mengasosiasikan kata-kata dengan gambar pada otaknya. Misalnya jika kita mendengar kata pisang, apa yg muncul dalam otak kita? tentunya gambaran buah pisang kan dalam otak kita? Lalu kalo kita ditanya buah polokokok. Kita akan mengernyitkan dahi, apakah itu? KIta tidak mengetahuinya karena memang kita belum pernah mendapatkan informasi/gambaran buah polokokok itu seperti apa. Jika saya katakan buah itu seperti gelas, tentunya di lain waktu jika anda ditanya seperti apa buah polokokok itu, tentunya anda akan menggambarkannya seperti gelas. Begitu pula dengan anak kecil. Apa yg kita ajarkan, itulah yg mereka terima.
Sering kali kita mendengar orgtua berkata pd anaknya, "jangan nonton tv dekat2!!" mereka akan menangkapnya/menggambarkan dalam otaknya sebagai nonton tv itu harus dekat2, karena mereka tdk mengerti arti kata "jangan", maka jadilah mereka menonton tv lebih dekat. Semakin dibilang jangan, semakin ngotot mereka untuk menonton tv dalam jarak dekat. Atau kasus lain, "jangan main air!" maka mereka menterjemahkannya sebagai main air. Kita yg tidak memahami bahasa otak mereka akan berpikiran "kok ngeyel bgt ya ni, anak! gak bisa dibilangin!"
Prinsipnya, menurut pak Krisna, Don't think what u don't want, tapi think what u want! Jadi jika kita melarang sesuatu pada anak kita, usahakan jangan menggunakan kata "jangan" tapi arahkan mereka, kenapa kita melarang mereka melakukan hal itu. Misalnya jangan nonton tv dekat2! diganti dengan "nontonnya di sini ya nak, duduk yang manis, supaya matanya tidak rusak." Selalu beri alasan kenapa kita melarang anak melakukan suatu hal dan arahkan mereka.
Ngomong-ngomong soal larangan, pantesan yah, kalo kita bilang ke suami kita "jangan pulang malem2" pulangnya tetep aja malem yahhhh...wakakakakakakakakssss!!!
Hhhhhmmm pembicaraan yg menarik menurut saya, sayang hanya berlangsung sebentar.(Dita)
Mendidik anak itu gampang, menurut pak Krisna (wwhoooaaaa...bisa ditimpuk ibu2 sejakarta tuh bapak...huehehehehehe...kidding!!!) seperti menginstal program pd komputer yg kosong. Apa yg akan kita instal, program itulah yang akan dijalankan anak kita.
Menurut beliau, kuncinya adalah memahami bahasa otak anak. Bahasa otak anak adalah melalui bahasa gambar. Mereka seperti kita juga, akan mengasosiasikan kata-kata dengan gambar pada otaknya. Misalnya jika kita mendengar kata pisang, apa yg muncul dalam otak kita? tentunya gambaran buah pisang kan dalam otak kita? Lalu kalo kita ditanya buah polokokok. Kita akan mengernyitkan dahi, apakah itu? KIta tidak mengetahuinya karena memang kita belum pernah mendapatkan informasi/gambaran buah polokokok itu seperti apa. Jika saya katakan buah itu seperti gelas, tentunya di lain waktu jika anda ditanya seperti apa buah polokokok itu, tentunya anda akan menggambarkannya seperti gelas. Begitu pula dengan anak kecil. Apa yg kita ajarkan, itulah yg mereka terima.
Sering kali kita mendengar orgtua berkata pd anaknya, "jangan nonton tv dekat2!!" mereka akan menangkapnya/menggambarkan dalam otaknya sebagai nonton tv itu harus dekat2, karena mereka tdk mengerti arti kata "jangan", maka jadilah mereka menonton tv lebih dekat. Semakin dibilang jangan, semakin ngotot mereka untuk menonton tv dalam jarak dekat. Atau kasus lain, "jangan main air!" maka mereka menterjemahkannya sebagai main air. Kita yg tidak memahami bahasa otak mereka akan berpikiran "kok ngeyel bgt ya ni, anak! gak bisa dibilangin!"
Prinsipnya, menurut pak Krisna, Don't think what u don't want, tapi think what u want! Jadi jika kita melarang sesuatu pada anak kita, usahakan jangan menggunakan kata "jangan" tapi arahkan mereka, kenapa kita melarang mereka melakukan hal itu. Misalnya jangan nonton tv dekat2! diganti dengan "nontonnya di sini ya nak, duduk yang manis, supaya matanya tidak rusak." Selalu beri alasan kenapa kita melarang anak melakukan suatu hal dan arahkan mereka.
Ngomong-ngomong soal larangan, pantesan yah, kalo kita bilang ke suami kita "jangan pulang malem2" pulangnya tetep aja malem yahhhh...wakakakakakakakakssss!!!
Hhhhhmmm pembicaraan yg menarik menurut saya, sayang hanya berlangsung sebentar.(Dita)
Tuesday, February 15, 2005
Menyapa Jiwa Anak-Anak Kami
Sore itu saya mengajak Arwen, putri kami, dan suami berkunjung ke sebuah Plaza di wilayah Jakarta Selatan. Setelah berkemas-kemas dengan segambreng gembolan Arwen, kami memacu kendaraan menuju Plaza tersebut. Sesampai di sana, kami memutuskan untuk duduk-duduk sambil ngopi-ngopi saja di sebuah kedai kopi. Sambil menikmati secangkir Cafe Mocca panas, kami bercanda ria dengan putri kami, maklum Arwen sudah mulai senang bercanda dan tertawa-tawa.
Tak lama kemudian, terlihat sepasang suami istri datang dengan dua anak, satu berusia sekitar 5 tahunan, yang satu lagi masih bayi, beserta seorang baby sitter-nya. Mereka memilih duduk di samping meja kami. Saya bertemu pandang dengan sang Ibu dan melemparkan senyum, ia pun membalas senyum saya. Mereka kemudian asyik dengan aktifitas masing-masing. Kami terhanyut kembali dalam "pembicaraan" dengan Arwen. Tiba-tiba saya terusik dengan suara tangisan bayi. Saya palingkan kepala ke meja sebelah, ternyata si bayi memang menangis dan tampaknya agak mengamuk. Lima belas menit berlalu, dan tangisan sang bayi tak kunjung mereda. Si baby sitter terlihat sibuk dan bingung menenangkan bayi mungil itu. Gendong sana, gendong sini, bujuk sana, bujuk sini. Sementara itu, tahu apa yang dilakukan Ibunda tercinta? Tak tampak raut wajah risau dari mimik mukanya, asyik menyeruput secangkir kopi panas dan berbincang-bincang dengan suaminya. Hanyut dalam urusan mereka sendiri. Lima menit kemudian, entah karena sudah selesai urusannya, atau karena tak enak bayinya menangis terus, mereka memutuskan pergi. Saya dan suami hanya melongo saja memandangi kepergian suami istri itu, dengan sang baby sitter yang menggendong bayi, mengikuti di belakang mereka.
Saya kembali teringat, beberapa minggu yang lalu saya bersama suami berkunjung ke rumah rekan kerja suami saya. Sambutan tuan dan nyonya rumah cukup hangat. Sang istri dan saya terlibat pembicaraan khas ibu-ibu, biasalah soal rumah tangga, perawatan anak, dsb. Tiba-tiba terlihat putri kecilnya yang cantik berlari ke arah sang mama, bergelayut manja di pundak mamanya. Saya mengajak si kecil berbicara dan ia menjawabnya dengan mata berbinar. Tak lama, ia menarik-narik baju mamanya, minta diambilkan sepeda mini di sebelah mamanya. Si Ibu asyik berbincang dengan saya, sementara konsentrasi saya terpecah, merasa terganggu dengan rengekan sang anak yang tidak ditanggapi ibunya.
"Minta sama suster sana!" Sontak saya kaget mendengar kata-kata itu keluar dari mulut sang Mama. Saya bergumam dalam hati, "Hei, kamu Ibunya dan sepeda itu ada di sebelahmu! Apa susahnya mengambilkan sebentar untuk anakmu!" Yang membuat saya makin takjub, ia sempat berkeluh kesah, karena bayinya yang berusia 5 bulan sering rewel, sehingga membuatnya merasa pusing tak bisa tidur. Ia menyampaikannya dengan nada bicara seolah kehadiran sang bayi mengganggu kehidupannya. Tapi ia merasa beruntung memiliki baby sitter yang dapat mengurus dan mengatasi anak-anaknya.
Ingatan saya kembali berputar ke beberapa waktu silam, saat saya bersama teman sedang kongkow-kongkow di sebuah mal. Pandangan saya terhenti pada seorang Ibu muda yang kerepotan membawa barang-barang belanjaan hasil berburu diskonnya. Dua meter di belakangnya seorang baby sitter mendorong kereta bayi dengan seorang bayi cantik di dalamnya. Sang Ibu menghardik si baby sitter untuk berjalan lebih cepat. Trenyuh hati saya, sang Ibu lebih rela berberat-berat ria dengan barang belanjaannya dibandingkan menggendong atau mendampingi bayinya sendiri.
Dari kejadian-kejadian itu, yang terus berputar-putar dalam benak saya dan suami malam itu, hati saya tergelitik untuk melontarkan pertanyaan. Apakah ini sebuah kewajaran, menyerahkan sepenuhnya urusan anak kepada baby sitter, dengan asumsi mereka sudah membayar dan berhak menggunakan semaksimal mungkin jasa baby sitter? Istilah sekarangnya "ogah rugi." Seorang Ibu datang ke penyalur, minta baby sitter, bayar, pulang. Dan baby sitter bertugas mengurusi semuanya, dari mengganti popok, memberi makan anak, menenangkannya jika rewel dan mengamuk. Anak menangis, tinggal teriak, "suster!" dan suster pun datang. Instan sekali! Ibu hanya tahu beres saja. Lalu tugas Ibu sebagai orangtua di mana? Apakah rasa cinta itu hanya ditunjukkan dengan mencukupi segala kebutuhan materi sang anak semata? Asal semua kebutuhan fisiknya cukup, ada baby sitter yang mengurus semua kebutuhannya, ya sudah! beres semua kan?!
Ok, katakanlah mereka orang sibuk, sehari-hari bekerja, berangkat pagi dan pulang malam di kala dalam kedua waktu tersebut sang buah hati tertidur lelap. Tapi tak ada salahnya toh, di akhir pekan mereka meluangkan waktu yang sangat berharga itu dengan buah hati mereka tanpa sepenuhnya "direcoki" baby sitter? Apa susahnya sih mendekap bayi mereka sendiri dengan penuh cinta? Apa susahnya membelai dengan lembut kulit mereka yang halus? Mengisi jiwanya dengan canda tawa, menenangkan tangisannya dengan mata kita yang berbinar-binar, bersyukur memiliki anugerah terindah seperti mereka.
Tidakkah terpikir dalam benak-benak mereka, akan jadi apa anak-anak mereka suatu hari nanti? sadarkah mereka bahwa anak-anak mereka tak pernah tersentuh jiwa dan fisiknya oleh orangtua mereka sendiri?
Saya sendiri bukan pengguna jasa baby sitter, karena saya memutuskan berhenti bekerja dan memilih untuk mengurus dan mengasuh anak saya sendiri. Pengorbanan yang sangat sangat berarti hasilnya bagi saya. Pengorbanan yang terbayar dengan senyum kecil yang menghiasi wajah our little precious. Akan tetapi saya juga tidak menyalahkan para orangtua yang karena suatu hal atau keadaan harus menggunakan jasa baby sitter. Hanya saja, sebaiknya kita menjadi bijaksana dalam mengasuh buah hati kita.
Terlalu naifkah saya memandang semua ini, memandang ke-instan-an ini? Membayangkan suatu hari nanti generasi anak-anak kita menjadi orang-orang yang tak punya hati, generasi yang tidak "beres" tingkah lakunya. Jangan salahkan mereka, anak-anak ini!
Dan malam itu, ketika peri kecil kami telah tidur, saya mengecup pipinya sambil berbisik dalam lelapnya, "Mommy tak akan membiarkan jiwamu hampa, Nak."(Dita)
"If we could raise one generation with unconditional love, there would be no Hitlers. We need to teach the next generation of children from Day One that they are responsible for their lives. Mankind's greatest gift, also its greatest curse, is that we have free choice. We can make our choices built from love or from fear."
(Dr. Elizabeth Kubler-Ross)
Tak lama kemudian, terlihat sepasang suami istri datang dengan dua anak, satu berusia sekitar 5 tahunan, yang satu lagi masih bayi, beserta seorang baby sitter-nya. Mereka memilih duduk di samping meja kami. Saya bertemu pandang dengan sang Ibu dan melemparkan senyum, ia pun membalas senyum saya. Mereka kemudian asyik dengan aktifitas masing-masing. Kami terhanyut kembali dalam "pembicaraan" dengan Arwen. Tiba-tiba saya terusik dengan suara tangisan bayi. Saya palingkan kepala ke meja sebelah, ternyata si bayi memang menangis dan tampaknya agak mengamuk. Lima belas menit berlalu, dan tangisan sang bayi tak kunjung mereda. Si baby sitter terlihat sibuk dan bingung menenangkan bayi mungil itu. Gendong sana, gendong sini, bujuk sana, bujuk sini. Sementara itu, tahu apa yang dilakukan Ibunda tercinta? Tak tampak raut wajah risau dari mimik mukanya, asyik menyeruput secangkir kopi panas dan berbincang-bincang dengan suaminya. Hanyut dalam urusan mereka sendiri. Lima menit kemudian, entah karena sudah selesai urusannya, atau karena tak enak bayinya menangis terus, mereka memutuskan pergi. Saya dan suami hanya melongo saja memandangi kepergian suami istri itu, dengan sang baby sitter yang menggendong bayi, mengikuti di belakang mereka.
Saya kembali teringat, beberapa minggu yang lalu saya bersama suami berkunjung ke rumah rekan kerja suami saya. Sambutan tuan dan nyonya rumah cukup hangat. Sang istri dan saya terlibat pembicaraan khas ibu-ibu, biasalah soal rumah tangga, perawatan anak, dsb. Tiba-tiba terlihat putri kecilnya yang cantik berlari ke arah sang mama, bergelayut manja di pundak mamanya. Saya mengajak si kecil berbicara dan ia menjawabnya dengan mata berbinar. Tak lama, ia menarik-narik baju mamanya, minta diambilkan sepeda mini di sebelah mamanya. Si Ibu asyik berbincang dengan saya, sementara konsentrasi saya terpecah, merasa terganggu dengan rengekan sang anak yang tidak ditanggapi ibunya.
"Minta sama suster sana!" Sontak saya kaget mendengar kata-kata itu keluar dari mulut sang Mama. Saya bergumam dalam hati, "Hei, kamu Ibunya dan sepeda itu ada di sebelahmu! Apa susahnya mengambilkan sebentar untuk anakmu!" Yang membuat saya makin takjub, ia sempat berkeluh kesah, karena bayinya yang berusia 5 bulan sering rewel, sehingga membuatnya merasa pusing tak bisa tidur. Ia menyampaikannya dengan nada bicara seolah kehadiran sang bayi mengganggu kehidupannya. Tapi ia merasa beruntung memiliki baby sitter yang dapat mengurus dan mengatasi anak-anaknya.
Ingatan saya kembali berputar ke beberapa waktu silam, saat saya bersama teman sedang kongkow-kongkow di sebuah mal. Pandangan saya terhenti pada seorang Ibu muda yang kerepotan membawa barang-barang belanjaan hasil berburu diskonnya. Dua meter di belakangnya seorang baby sitter mendorong kereta bayi dengan seorang bayi cantik di dalamnya. Sang Ibu menghardik si baby sitter untuk berjalan lebih cepat. Trenyuh hati saya, sang Ibu lebih rela berberat-berat ria dengan barang belanjaannya dibandingkan menggendong atau mendampingi bayinya sendiri.
Dari kejadian-kejadian itu, yang terus berputar-putar dalam benak saya dan suami malam itu, hati saya tergelitik untuk melontarkan pertanyaan. Apakah ini sebuah kewajaran, menyerahkan sepenuhnya urusan anak kepada baby sitter, dengan asumsi mereka sudah membayar dan berhak menggunakan semaksimal mungkin jasa baby sitter? Istilah sekarangnya "ogah rugi." Seorang Ibu datang ke penyalur, minta baby sitter, bayar, pulang. Dan baby sitter bertugas mengurusi semuanya, dari mengganti popok, memberi makan anak, menenangkannya jika rewel dan mengamuk. Anak menangis, tinggal teriak, "suster!" dan suster pun datang. Instan sekali! Ibu hanya tahu beres saja. Lalu tugas Ibu sebagai orangtua di mana? Apakah rasa cinta itu hanya ditunjukkan dengan mencukupi segala kebutuhan materi sang anak semata? Asal semua kebutuhan fisiknya cukup, ada baby sitter yang mengurus semua kebutuhannya, ya sudah! beres semua kan?!
Ok, katakanlah mereka orang sibuk, sehari-hari bekerja, berangkat pagi dan pulang malam di kala dalam kedua waktu tersebut sang buah hati tertidur lelap. Tapi tak ada salahnya toh, di akhir pekan mereka meluangkan waktu yang sangat berharga itu dengan buah hati mereka tanpa sepenuhnya "direcoki" baby sitter? Apa susahnya sih mendekap bayi mereka sendiri dengan penuh cinta? Apa susahnya membelai dengan lembut kulit mereka yang halus? Mengisi jiwanya dengan canda tawa, menenangkan tangisannya dengan mata kita yang berbinar-binar, bersyukur memiliki anugerah terindah seperti mereka.
Tidakkah terpikir dalam benak-benak mereka, akan jadi apa anak-anak mereka suatu hari nanti? sadarkah mereka bahwa anak-anak mereka tak pernah tersentuh jiwa dan fisiknya oleh orangtua mereka sendiri?
Saya sendiri bukan pengguna jasa baby sitter, karena saya memutuskan berhenti bekerja dan memilih untuk mengurus dan mengasuh anak saya sendiri. Pengorbanan yang sangat sangat berarti hasilnya bagi saya. Pengorbanan yang terbayar dengan senyum kecil yang menghiasi wajah our little precious. Akan tetapi saya juga tidak menyalahkan para orangtua yang karena suatu hal atau keadaan harus menggunakan jasa baby sitter. Hanya saja, sebaiknya kita menjadi bijaksana dalam mengasuh buah hati kita.
Terlalu naifkah saya memandang semua ini, memandang ke-instan-an ini? Membayangkan suatu hari nanti generasi anak-anak kita menjadi orang-orang yang tak punya hati, generasi yang tidak "beres" tingkah lakunya. Jangan salahkan mereka, anak-anak ini!
Dan malam itu, ketika peri kecil kami telah tidur, saya mengecup pipinya sambil berbisik dalam lelapnya, "Mommy tak akan membiarkan jiwamu hampa, Nak."(Dita)
"If we could raise one generation with unconditional love, there would be no Hitlers. We need to teach the next generation of children from Day One that they are responsible for their lives. Mankind's greatest gift, also its greatest curse, is that we have free choice. We can make our choices built from love or from fear."
(Dr. Elizabeth Kubler-Ross)
Potensi Penonton Menentukan Rasa Baru
Salah satu sarana hiburan yang langsung dapat kita nikmati saat dilanda stres adalah televisi. Sayangnya, saat ini jenis hiburan di kotak ajaib ini, hampir semuanya sama, terutama sinetron. Semua stasiun televisi mengetengahkan sinema elektronik dengan tema yang tidak jauh-jauh dari dunia ABG, perebutan warisan, anak cacat mental yang tersiksa, kisah ibu yang kejamnya minta ampun pada anak tirinya, sampai pada kisah-kisah yang menyisipkan kuntilanak di dalamnya.
Lantas apa yang janggal? Hampir semuanya melegalkan kekerasan! Baik secara fisik maupun verbal. Tak sedikit, sinetron yang memproklamirkan dirinya sebagai sinetron anak-anak, juga mengumbar pemukulan secara fisik dan perendahan harga diri melalui kata-kata berbau kebun binatang. Anehnya biarpun ngomel, banyak yang terhipnotis untuk tetap terus menonton. Yang pasti, karena pihak pembuat mempunyai strategi pemasaran dengan memajang muka-muka ganteng dan ‘bening’, menampilkan kemewahan yang banyak jadi mimpi masyarakat kita, serta alur cerita yang berkelok-kelok sehingga membuat penasaran.
Bertambahnya stasiun televisi, berarti bertambah pula daerah okupasi dunia sinetron. Tapi bukan berarti tema-tema yang ditawarkan semakin variatif. Coba saja perhatikan, ceritanya masih berkutat di situ-situ saja, dengan kekerasan fisik dan verbal sebagai bumbu penyedap yang paling dominan. Keadaan seperti ini berlangsung terus selama bertahun-tahun. Yang sangat menyedihkan adalah, tidak adanya kesadaran para produsen akan potensi efek yang ditimbulkan terhadap masyarakat, terutama anak-anak, yang notabene adalah imitator sejati. Tidakkah mereka bayangkan, bahwa hasil karya mereka dapat mengarahkan seseorang untuk berbuat hal yang sama, karena menurut penonton, itu wajar, kok…lha wong di sinetron-sinetron aja diumbar dan menjadi bagian dari hidup sehari-hari!
Membicarakan hal ini, sepertinya tak akan pernah ada habisnya. Lagi-lagi rating dan selera pasar yang dijadikan tameng bagi para produser. Alasan bahwa masyarakat kita senang dengan hal-hal seperti itu, selalu dijadikan dalih untuk terus memproduksi sinetron-sinetron dengan tema kekerasan dan mistik. Bisa ditebak, ujung-ujungnya duit yang berbicara. Siapa yang tidak ngiler, hanya dalam semalam sebuah tayangan sinetron bisa meraih untung hingga milyaran rupiah, baik bagi stasiun televisi sebagai penayang ataupun bagi para produsen.
Pihak produser hendaknya menjadi kreatif mencari celah membentuk selera pasar baru, tentunya yang mempunyai potensi efek positif. Jangan sampai produser pasrah terhadap keinginan penonton. Karena penonton senangnya dengan hal tersebut, akhirnya dijejalilah mereka dengan muatan-muatan berbau negatif yang itu-itu terus.
Lihat saja sinetron Keluarga Cemara atau Si Doel Anak Sekolahan. Mereka sukses membentuk “rasa” baru dalam adonan kue sinetron Indonesia. Berarti kemungkinan untuk membentuk selera masyarakat ke arah yang lebih baik, sebenarnya ada kan?
Di sisi lain, masyarakat sebagai penonton juga harus berperan aktif, menjadi penonton yang cerdas dan kritis. Penonton yang bisa selektif memilah-milih mana tayangan yang terbaik bagi dirinya. Kalau tidak berkenan di hati, ya tidak usah ditonton. Toh, tak ada yang memaksa untuk terus nongkrong di depan pesawat televisi.(Dita)
Lantas apa yang janggal? Hampir semuanya melegalkan kekerasan! Baik secara fisik maupun verbal. Tak sedikit, sinetron yang memproklamirkan dirinya sebagai sinetron anak-anak, juga mengumbar pemukulan secara fisik dan perendahan harga diri melalui kata-kata berbau kebun binatang. Anehnya biarpun ngomel, banyak yang terhipnotis untuk tetap terus menonton. Yang pasti, karena pihak pembuat mempunyai strategi pemasaran dengan memajang muka-muka ganteng dan ‘bening’, menampilkan kemewahan yang banyak jadi mimpi masyarakat kita, serta alur cerita yang berkelok-kelok sehingga membuat penasaran.
Bertambahnya stasiun televisi, berarti bertambah pula daerah okupasi dunia sinetron. Tapi bukan berarti tema-tema yang ditawarkan semakin variatif. Coba saja perhatikan, ceritanya masih berkutat di situ-situ saja, dengan kekerasan fisik dan verbal sebagai bumbu penyedap yang paling dominan. Keadaan seperti ini berlangsung terus selama bertahun-tahun. Yang sangat menyedihkan adalah, tidak adanya kesadaran para produsen akan potensi efek yang ditimbulkan terhadap masyarakat, terutama anak-anak, yang notabene adalah imitator sejati. Tidakkah mereka bayangkan, bahwa hasil karya mereka dapat mengarahkan seseorang untuk berbuat hal yang sama, karena menurut penonton, itu wajar, kok…lha wong di sinetron-sinetron aja diumbar dan menjadi bagian dari hidup sehari-hari!
Membicarakan hal ini, sepertinya tak akan pernah ada habisnya. Lagi-lagi rating dan selera pasar yang dijadikan tameng bagi para produser. Alasan bahwa masyarakat kita senang dengan hal-hal seperti itu, selalu dijadikan dalih untuk terus memproduksi sinetron-sinetron dengan tema kekerasan dan mistik. Bisa ditebak, ujung-ujungnya duit yang berbicara. Siapa yang tidak ngiler, hanya dalam semalam sebuah tayangan sinetron bisa meraih untung hingga milyaran rupiah, baik bagi stasiun televisi sebagai penayang ataupun bagi para produsen.
Pihak produser hendaknya menjadi kreatif mencari celah membentuk selera pasar baru, tentunya yang mempunyai potensi efek positif. Jangan sampai produser pasrah terhadap keinginan penonton. Karena penonton senangnya dengan hal tersebut, akhirnya dijejalilah mereka dengan muatan-muatan berbau negatif yang itu-itu terus.
Lihat saja sinetron Keluarga Cemara atau Si Doel Anak Sekolahan. Mereka sukses membentuk “rasa” baru dalam adonan kue sinetron Indonesia. Berarti kemungkinan untuk membentuk selera masyarakat ke arah yang lebih baik, sebenarnya ada kan?
Di sisi lain, masyarakat sebagai penonton juga harus berperan aktif, menjadi penonton yang cerdas dan kritis. Penonton yang bisa selektif memilah-milih mana tayangan yang terbaik bagi dirinya. Kalau tidak berkenan di hati, ya tidak usah ditonton. Toh, tak ada yang memaksa untuk terus nongkrong di depan pesawat televisi.(Dita)
Tren Fesyen dan Musik yang Tak Terpisahkan
Suatu sore sambil menyeruput segelas mocha latte, saya ngobrol santai dengan seorang teman mengenai proses perkembangan musik dari berbagai era. Mulai dari tahun ‘60-an, ‘70-an, ‘80-an, ‘90-an sampai sekarang. Bicara musik tanpa bicara tren berpakaian pada setiap masa rasanya tak lengkap. Karena mau tak mau pembicaraan nyerempet-nyerempet ke soal gaya hidup, yang ujung-ujungnya pasti nyangkut juga ke soal fesyen.
Dari pembicaraan tersebut, saya melihat adanya keterkaitan antara perkembangan musik dengan gaya berpakaian di setiap era. Tahun ’60-an ditandai dengan dandanan yang serba klimis, berjas rapi dan bersepatu kulit. Bertolak belakang dengan ciri khas musiknya, yang sudah mulai bereksperimen dengan berbagai aransemen, menggunakan variasi chord gitar dan ketukan drum dalam satu lagu, sebagai sebuah penyempurnaan dari era Elvis sebelumnya. Masa ini dipelopori oleh The Beatles, salah satunya. Yang menarik, gaya berbusana pada saat itu sebenarnya masih belum berani lepas dari masa sebelumnya. Tampaknya mereka ingin menunjukkan kesan, walaupun musik mereka berontak dari pakem, tapi penampilan tetap bersih, rapi dan alim.
Tahun ‘70-an sampai ‘80-an adalah jaman pemberontakan dan pendewasaan pemberontakan. Eksperimennya bukan cuma di partitur musik tapi juga alat musik yang digunakan. Gaya hidupnya cenderung liar dan berantakan, menggambarkan pemberontakan total dengan eksisnya paham seks bebas, kokain, narkotik, cinta, dan perdamaian. Flower generation adalah bagian dari wujud pemberontakan tersebut. Mode busananya pun menggambarkan kebebasan dengan mengadopsi gaya hippies yang anti kemapanan. Serba longgar dengan motif-motif berani dan aksesoris kalung-kalung panjang adalah ciri khas era ‘70-an sampai awal ‘80. Kesan ‘anak manis’ sudah ditinggalkan.
Era ’80 sampai ’90 adalah masa pendewasaan total. Pencarian tentang gaya musik sudah lebih tenang dan tidak menggebu-gebu. Masing-masing musisi mulai mencari alirannya sendiri. Ada heavy metal, R&B, rap, hip hop dan alternatif. Gaya berpakaian mulai variatif sesuai dengan aliran musik. Tidak terikat pada pakem tertentu dan berani berekspresi melalui cara berpakaian.
Dari kenyataan itu dapat saya lihat, bahwa betapa inspiratifnya dunia musik bagi para pencipta tren fesyen dunia. Musik bukan hanya sekedar sebagai pengiring para peragawati berlenggak-lenggok di atas catwalk. Ide-
ide segar terus mengalir seiring dengan berkembangnya industri musik dunia. Musik dan fesyen memang tidak bisa dilepaskan.(Dita)
Dari pembicaraan tersebut, saya melihat adanya keterkaitan antara perkembangan musik dengan gaya berpakaian di setiap era. Tahun ’60-an ditandai dengan dandanan yang serba klimis, berjas rapi dan bersepatu kulit. Bertolak belakang dengan ciri khas musiknya, yang sudah mulai bereksperimen dengan berbagai aransemen, menggunakan variasi chord gitar dan ketukan drum dalam satu lagu, sebagai sebuah penyempurnaan dari era Elvis sebelumnya. Masa ini dipelopori oleh The Beatles, salah satunya. Yang menarik, gaya berbusana pada saat itu sebenarnya masih belum berani lepas dari masa sebelumnya. Tampaknya mereka ingin menunjukkan kesan, walaupun musik mereka berontak dari pakem, tapi penampilan tetap bersih, rapi dan alim.
Tahun ‘70-an sampai ‘80-an adalah jaman pemberontakan dan pendewasaan pemberontakan. Eksperimennya bukan cuma di partitur musik tapi juga alat musik yang digunakan. Gaya hidupnya cenderung liar dan berantakan, menggambarkan pemberontakan total dengan eksisnya paham seks bebas, kokain, narkotik, cinta, dan perdamaian. Flower generation adalah bagian dari wujud pemberontakan tersebut. Mode busananya pun menggambarkan kebebasan dengan mengadopsi gaya hippies yang anti kemapanan. Serba longgar dengan motif-motif berani dan aksesoris kalung-kalung panjang adalah ciri khas era ‘70-an sampai awal ‘80. Kesan ‘anak manis’ sudah ditinggalkan.
Era ’80 sampai ’90 adalah masa pendewasaan total. Pencarian tentang gaya musik sudah lebih tenang dan tidak menggebu-gebu. Masing-masing musisi mulai mencari alirannya sendiri. Ada heavy metal, R&B, rap, hip hop dan alternatif. Gaya berpakaian mulai variatif sesuai dengan aliran musik. Tidak terikat pada pakem tertentu dan berani berekspresi melalui cara berpakaian.
Dari kenyataan itu dapat saya lihat, bahwa betapa inspiratifnya dunia musik bagi para pencipta tren fesyen dunia. Musik bukan hanya sekedar sebagai pengiring para peragawati berlenggak-lenggok di atas catwalk. Ide-
ide segar terus mengalir seiring dengan berkembangnya industri musik dunia. Musik dan fesyen memang tidak bisa dilepaskan.(Dita)
Geliat Dunia Fesyen vs Gejolak Dunia Global
“In the worst of time, life went on with style.”
Pernyataan John Galliano tersebut menggelitik pikiran saya. Hmm…ada benarnya juga. Dari barat ke timur perang berkecamuk di mana-mana, semua kebakaran jenggot mencari osama bin laden sampai hambali, yang katanya biang kerok terorisme.
Di sisi lain, para fashionista dan socialite juga bergeliat memburu hasil karya para desainer ternama. Berlomba-lomba mencari rancangan Dior dan Louis Vuitton, untuk dapat tampil stylish and classy. Yang satu mengangkat senjata, yang lain menyingsingkan lengan untuk bisa mendapatkan gaun elegannya Armani.
Bertolak belakang dengan situasi perang, koleksi dari panggung peragaan Milan dan Paris untuk sesi fall/winter 2004/2005, justru merayakan kebebasan berekspresi dan menjunjung tinggi nilai-nilai keindahan dan hidup. Hal ini menggambarkan betapa situasi dunia yang penuh konflik, tak berpengaruh terhadap kreatifitas para desainer untuk terus berkarya, bahkan bisa menjadi sumber inspirasi mereka.
Tak dapat dipungkiri, hidup seperti medan magnet, ada kutub positif, ada kutub negatif. Saya tidak bicara baik buruk, tetapi menerjemahkannya sebagai dua hal yang berbeda. Jika di satu belahan dunia ada yang mati-matian mempertahankan kekuasaan dengan nyawa sebagai korbannya, saya maklum saja jika di belahan lainnya ada manusia-manusia yang terus berfantasi untuk menciptakan karya-karya indah.
Lelah rasanya, melihat dunia yang terus bergejolak, merasakan hidup yang tak lagi aman dan nyaman. Seperti merasakan sepotong coklat yang lumer di mulut, manisnya hidup tetap dapat dinikmati dengan hadirnya kreasi para perancang dan pencipta mode dunia. Bukannya tidak menghargai mereka yang sedang dilanda musibah, tapi salut kepada energi berekspresi yang tak pernah ada matinya. Semuanya adalah wujud kerinduan ingin merasakan kebebasan sebagai manusia, bebas dari rasa takut dan tertindas.
Saya pribadi angkat topi kepada para desainer fesyen karena telah mewarnai kehidupan ini dengan begitu indah. Membuat selalu ada cara untuk menikmati hidup. Bukankah harus selalu ada keseimbangan dalam segalanya? Bahkan dalam kondisi yang terjelek sekalipun.(Dita)
Pernyataan John Galliano tersebut menggelitik pikiran saya. Hmm…ada benarnya juga. Dari barat ke timur perang berkecamuk di mana-mana, semua kebakaran jenggot mencari osama bin laden sampai hambali, yang katanya biang kerok terorisme.
Di sisi lain, para fashionista dan socialite juga bergeliat memburu hasil karya para desainer ternama. Berlomba-lomba mencari rancangan Dior dan Louis Vuitton, untuk dapat tampil stylish and classy. Yang satu mengangkat senjata, yang lain menyingsingkan lengan untuk bisa mendapatkan gaun elegannya Armani.
Bertolak belakang dengan situasi perang, koleksi dari panggung peragaan Milan dan Paris untuk sesi fall/winter 2004/2005, justru merayakan kebebasan berekspresi dan menjunjung tinggi nilai-nilai keindahan dan hidup. Hal ini menggambarkan betapa situasi dunia yang penuh konflik, tak berpengaruh terhadap kreatifitas para desainer untuk terus berkarya, bahkan bisa menjadi sumber inspirasi mereka.
Tak dapat dipungkiri, hidup seperti medan magnet, ada kutub positif, ada kutub negatif. Saya tidak bicara baik buruk, tetapi menerjemahkannya sebagai dua hal yang berbeda. Jika di satu belahan dunia ada yang mati-matian mempertahankan kekuasaan dengan nyawa sebagai korbannya, saya maklum saja jika di belahan lainnya ada manusia-manusia yang terus berfantasi untuk menciptakan karya-karya indah.
Lelah rasanya, melihat dunia yang terus bergejolak, merasakan hidup yang tak lagi aman dan nyaman. Seperti merasakan sepotong coklat yang lumer di mulut, manisnya hidup tetap dapat dinikmati dengan hadirnya kreasi para perancang dan pencipta mode dunia. Bukannya tidak menghargai mereka yang sedang dilanda musibah, tapi salut kepada energi berekspresi yang tak pernah ada matinya. Semuanya adalah wujud kerinduan ingin merasakan kebebasan sebagai manusia, bebas dari rasa takut dan tertindas.
Saya pribadi angkat topi kepada para desainer fesyen karena telah mewarnai kehidupan ini dengan begitu indah. Membuat selalu ada cara untuk menikmati hidup. Bukankah harus selalu ada keseimbangan dalam segalanya? Bahkan dalam kondisi yang terjelek sekalipun.(Dita)
Sunday, February 13, 2005
Teror Sepeda Motor
Kenapa ya rata-rata pengendara sepeda motor itu identik dengan 'pecicilan' & 'nyelonong' seenak udel bodong? Walau traffic light bilang merah, tetep aja wweeerrrrrrr.... bikin kaget kendaraan lain yang dapat giliran hijau. Kalau terjadi sesuatu, srempetan misalnya si pengendara motor yang ngamuk ngamuk.
Kalau lagi macet, pengendara sepeda motor pasti bagai air mencari celah untuk terus maju maju dan maju walau sampai harus melawan arus. Begitu stuck, berhenti di jalur berlawanan, menumpuk dengan pengendara sepeda motor lain menyumbat arus.
Belum lagi yang sepeda motornya dimodif racing. Makin 'pecicilan' ngga pakai etika lalu lintas pula, not to mention suara knalpotnya yang berdesibel tinggi bikin kuping sobek.
Kenapa sih mental pengendara sepeda motor sedemikian payahnya? Apa karena ingin buru-buru cepat sampai tujuan, karena gue tahu naik sepeda motor lebih melelahkan dan memabukkan (menghirup knalpot kendaraan lain)? Apa karena sudah merasa dimaklumi pengendara jenis lain jadi diperbolehkan untuk 'nyelonong'? Apa terlalu gampang untuk mendapatkan SIM kendaraan roda dua sehingga mentalnya ngga terjaga atau ter-filter? Apa aparat yang berwenang sudah ikut memaklumi kondisi ini?
Beberapa hari lalu, lagi macet-macetnya seperti biasa para pengendara sepeda motor mengambil jalur berlawanan untuk menghindari antrian. Kontan saja beberapa kali nyaris terjadi tabrakan, bahkan sesama pengendara sepeda motor. Dalam hati gue, "Polisi apa ngga ada yang ngatur beginian ya? Ancur banget sih disiplin pengendara-pengendara ini?" Ngga lama berselang, seorang anggota polisi ikut dalam sliweran slonongan tersebut. Bahkan bareng-bareng melawan arus. Gosh.
Kalau lagi macet, pengendara sepeda motor pasti bagai air mencari celah untuk terus maju maju dan maju walau sampai harus melawan arus. Begitu stuck, berhenti di jalur berlawanan, menumpuk dengan pengendara sepeda motor lain menyumbat arus.
Belum lagi yang sepeda motornya dimodif racing. Makin 'pecicilan' ngga pakai etika lalu lintas pula, not to mention suara knalpotnya yang berdesibel tinggi bikin kuping sobek.
Kenapa sih mental pengendara sepeda motor sedemikian payahnya? Apa karena ingin buru-buru cepat sampai tujuan, karena gue tahu naik sepeda motor lebih melelahkan dan memabukkan (menghirup knalpot kendaraan lain)? Apa karena sudah merasa dimaklumi pengendara jenis lain jadi diperbolehkan untuk 'nyelonong'? Apa terlalu gampang untuk mendapatkan SIM kendaraan roda dua sehingga mentalnya ngga terjaga atau ter-filter? Apa aparat yang berwenang sudah ikut memaklumi kondisi ini?
Beberapa hari lalu, lagi macet-macetnya seperti biasa para pengendara sepeda motor mengambil jalur berlawanan untuk menghindari antrian. Kontan saja beberapa kali nyaris terjadi tabrakan, bahkan sesama pengendara sepeda motor. Dalam hati gue, "Polisi apa ngga ada yang ngatur beginian ya? Ancur banget sih disiplin pengendara-pengendara ini?" Ngga lama berselang, seorang anggota polisi ikut dalam sliweran slonongan tersebut. Bahkan bareng-bareng melawan arus. Gosh.
Subscribe to:
Posts (Atom)