16 Maret 2005. Lagi-lagi, om-om anggota DPR menunjukkan kelakuannya yang sekelas anak-anak. Ricuh di parlemen. Terus terang males banget liatnya. Udah speechless dan males nonton TV, gue jadi cenderung apatis. Ceritanya, Fraksi PDIP menolak kenaikan harga BBM, tapi mungkin karena merasa gak didenger aspirasinya, jadi gondok, akhirnya salah satu anggota naik ke atas meja, nuding-nuding di depan ketua DPR. Bisa ditebak, abis itu kayaknya banyak yang kesulut, jadi panas lah situasinya.
Berikut petikan komentar masyarakat atas kejadian tersebut (gue sendiri males komentar euy!) :
Rakyat (R) 1 : Biarin aja! Mereka lagi main sandiwara kok. Kalo gak gitu kan gak kerja!!
R 2 : Yang gak setuju itu beneran mau mbela rakyat, ato ada maksud terselubung?
R 3 : Mending DPR dijadiin ring tinju aja!
R 4 : Gimana mo kasih contoh ke rakyat?!
R 5 : Kayak gitu minta gaji naik 15 juta!!
R 6 : Bikin rakyat makin susah.
R 7 : Itu sirkus ya?
R 8 : Orang-orang yang belum matang berpolitik tapi udah nyemplung di sana.
R 9 : Hari gini masih tawuran?
Arwen (5 mos) : Mamin!! Itu temen-temen Arwen!! Kok pada main di DPR?
Friday, March 18, 2005
Friday, March 11, 2005
Perempuan, Apa yang Kau Cari?
Bermula dari pertanyaan sederhana "Perempuan, Apa yang Kau Cari?" sebuah refleksi memperingati Hari Perempuan Internasional 8 Maret oleh Neni Utami Adiningsih, yang dilemparkan Agnes (hi Nes! *waving*). Dan secara singkat dapat saya katakan merupakan penggambaran dari realita sekarang mengenai Ibu bekerja dan masalah pengasuhan anak.
Suatu hal yang menurut saya, tak akan pernah habis diperbincangkan dan diperdebatkan, karena selalu mengundang pro dan kontra. Tulisan mbak Neni (hi mbak! salam kenal), memang cukup kritis, radikal dan potensial "menyentil" kuping pembacanya (khususnya perempuan berkeluarga). Beliau mempertanyakan apa sih sebenarnya motivasi perempuan berkeluarga untuk bekerja, sehingga akhirnya masalah pengurusan dan pengasuhan anak menjadi terbengkalai. Di mana akhirnya anak-anak ini jadi lebih banyak menghabiskan waktu-waktunya tanpa kehadiran kedua orangtua mereka.
Saya sendiri tidak mau mempermasalahkan apa alasan perempuan bekerja. Ada banyak motivasi "mulia" di balik itu, di luar alasan sekedar ingin melarikan diri dari urusan domestik rumah tangga. Banyak yang harus bekerja karena tuntutan ekonomi, karena ingin berkembang, ingin mengaktualisasikan dirinya, ingin berguna untuk lingkungan sekitarnya, ingin mewujudkan cita-citanya. Saya pikir ini adalah hal-hal yang sangat manusiawi.
Yang justru menggelitik saya adalah masalah pengasuhan anak, bukan hanya oleh Ibu bekerja tapi juga Full Time Mommy (FTM). Kita tidak bisa mengeneralisasi bahwa Ibu bekerja tidak becus mengurus anak, banyak kasus seorang FTM tidak menyadari bahwa ia telah melewati masa-masa keemasan perkembangan anaknya. Kenapa? Ada yang mampu, punya uang berlebih, tinggal bayar orang (baca: Baby Sitter (BS)) untuk mengasuh anaknya. Akhirnya kebablasan dan merasa keenakan. Semuanya tinggal tahu beres.
Lalu apa yang selalu digaungkan dan dijadikan senjata Ibu bekerja ataupun FTM, bahwa hari libur adalah hari bersama Ibu (orangtua) dan jargon "yang penting kualitas bukan kuantitas", kenyataannya juga beberapa kali saya temui hanya omong besar belaka. Terus terang di saat saya dan suami punya waktu untuk mengajak anak kami keluar, saya selalu memperhatikan lingkungan di sekeliling saya. Seperti yang pernah saya temui, seorang anak menjerit2 di mal, sementara Ibunya asik-asik ngopi, anaknya ditenangkan
baby sitter. Di lain waktu saya temui seorang Ibu yang kebingungan tidak tahu ukuran dan merk dot anaknya. Kali lain, saya lihat seorang anak menunggu bersama BS dan driver, menunggu orangtuanya yang sedang makan-makan. Dan itu semua terjadi di hari Sabtu Minggu, yang notabene adalah hari bersama orangtua, hari di mana orangtua katanya ingin menunjukkan kualitasnya bersama anak-anak mereka, kan. Ternyata? jargon-jargon itu mereka telan sendiri. Ada yang bilang, mana ada orangtua yang gak sayang anak-anaknya. Pada kenyataannya yang saya temui berkali-kali di lapangan, itukah yang dinamakan sayang dan cinta di jaman sekarang ini? Itukah yang dinamakan cinta orangtua, ketika anaknya menangis menjerit-jerit, Ibunya cuek aja dengan segelas kopi panasnya yang sedap? Itukah yang dinamakan cinta, ketika BS lebih tahu luar dalam seluk beluk anak sang majikan? Mungkin definisi sayangnya sudah bergeser yah? (kok saya jadi skeptis gini sih :-))
Sampai-sampai saya pernah berpikir "gimana ya kalau hari Sabtu Minggu,
dijadiin hari bebas BS, bener-bener free campur tangan BS? Hanya kita dan anak, menciptakan sebuah hubungan yang berkualitas. Misalnya pergi tanpa membawa-bawa rombongan sirkus untuk mengasuh anak." Mungkinkah? Mungkin saja! Hanya 2 hari dari 7 hari dalam seminggu, hanya 8 hari dari 30 hari dalam sebulan, dst. Hanya untuk waktu sesedikit itu, relakah kita tidak memanfaatkannya semaksimal mungkin bersama buah hati kita? Kita bisa bekerja sama dengan suami kan? Bukankah mereka bukan hanya sekedar pencari nafkah, yang tiap bulan setor duit, tinggal tahu beres? Mereka adalah partner "in crime" :-), mereka adalah sahabat kita dan yang terpenting, mereka adalah ayah dari anak-anak kita yang juga harus bertanggungjawab dengan kehadiran sang buah hati, bertanggungjawab juga dengan pengasuhan anak-anak. Kita harus melakukan ini bersama-sama.
Hal-hal yang saya amati ini, ataupun tuangan pena mbak Neni dalam artikelnya, saya anggap sebagai penggambaran dari kenyataan yang ada sekarang walaupun agak sedikit sarkas dan tidak semua orang mengalaminya. Jangan merasa terpancing untuk marah. Karena hikmahnya, ya untuk membuka mata kita. "Oh, ternyata ada toh realita seperti ini." Seharusnya ini dijadikan bahan pelajaran, bukannya pengingkaran untuk kemudian menjadi defensif. Jangan malu untuk mengakui, waktu yang saya habiskan untuk mengasuh anak saya sangatlah kurang. Dari pengalaman orang lain kita belajar untuk menjadi lebih bijak, kan?
Apapun pilihan kita, untuk bekerja atapun menjadi FTM, mau pakai jas cantik atau bercelana pendek di rumah (meminjam istilah mbak Ina, hi there! *waving*) jangan sampai anak-anak menjadi terabaikan. Memang akan selalu ada konsekuensi dibalik semua pilihan-pilihan kita, tapi kalau kita punya komitmen yang kuat untuk tidak membuat anak-anak tersisihkan, kita pasti bisa menciptakan waktu-waktu yang berkualitas dengan buah hati kita.
Jadi jika ditanya Perempuan, Apa yang Kau Cari? Jawabannya kembali kepada bagaimana kita memberi makna pada pilihan kita dan keinginan membuat diri kita berarti. Manusiawi kan?
Terimakasih buat We R Mommies Indonesia yang telah memungkinkan diskusi ini ada. Juga buat mommies yang sudah rela meluangkan waktu untuk menuangkan isi pikiran-pikirannya. Walau sempat "menghangat," saya percaya melalui forum ini kita mendapat banyak pelajaran dan memetik hikmahnya. (Dita)
Suatu hal yang menurut saya, tak akan pernah habis diperbincangkan dan diperdebatkan, karena selalu mengundang pro dan kontra. Tulisan mbak Neni (hi mbak! salam kenal), memang cukup kritis, radikal dan potensial "menyentil" kuping pembacanya (khususnya perempuan berkeluarga). Beliau mempertanyakan apa sih sebenarnya motivasi perempuan berkeluarga untuk bekerja, sehingga akhirnya masalah pengurusan dan pengasuhan anak menjadi terbengkalai. Di mana akhirnya anak-anak ini jadi lebih banyak menghabiskan waktu-waktunya tanpa kehadiran kedua orangtua mereka.
Saya sendiri tidak mau mempermasalahkan apa alasan perempuan bekerja. Ada banyak motivasi "mulia" di balik itu, di luar alasan sekedar ingin melarikan diri dari urusan domestik rumah tangga. Banyak yang harus bekerja karena tuntutan ekonomi, karena ingin berkembang, ingin mengaktualisasikan dirinya, ingin berguna untuk lingkungan sekitarnya, ingin mewujudkan cita-citanya. Saya pikir ini adalah hal-hal yang sangat manusiawi.
Yang justru menggelitik saya adalah masalah pengasuhan anak, bukan hanya oleh Ibu bekerja tapi juga Full Time Mommy (FTM). Kita tidak bisa mengeneralisasi bahwa Ibu bekerja tidak becus mengurus anak, banyak kasus seorang FTM tidak menyadari bahwa ia telah melewati masa-masa keemasan perkembangan anaknya. Kenapa? Ada yang mampu, punya uang berlebih, tinggal bayar orang (baca: Baby Sitter (BS)) untuk mengasuh anaknya. Akhirnya kebablasan dan merasa keenakan. Semuanya tinggal tahu beres.
Lalu apa yang selalu digaungkan dan dijadikan senjata Ibu bekerja ataupun FTM, bahwa hari libur adalah hari bersama Ibu (orangtua) dan jargon "yang penting kualitas bukan kuantitas", kenyataannya juga beberapa kali saya temui hanya omong besar belaka. Terus terang di saat saya dan suami punya waktu untuk mengajak anak kami keluar, saya selalu memperhatikan lingkungan di sekeliling saya. Seperti yang pernah saya temui, seorang anak menjerit2 di mal, sementara Ibunya asik-asik ngopi, anaknya ditenangkan
baby sitter. Di lain waktu saya temui seorang Ibu yang kebingungan tidak tahu ukuran dan merk dot anaknya. Kali lain, saya lihat seorang anak menunggu bersama BS dan driver, menunggu orangtuanya yang sedang makan-makan. Dan itu semua terjadi di hari Sabtu Minggu, yang notabene adalah hari bersama orangtua, hari di mana orangtua katanya ingin menunjukkan kualitasnya bersama anak-anak mereka, kan. Ternyata? jargon-jargon itu mereka telan sendiri. Ada yang bilang, mana ada orangtua yang gak sayang anak-anaknya. Pada kenyataannya yang saya temui berkali-kali di lapangan, itukah yang dinamakan sayang dan cinta di jaman sekarang ini? Itukah yang dinamakan cinta orangtua, ketika anaknya menangis menjerit-jerit, Ibunya cuek aja dengan segelas kopi panasnya yang sedap? Itukah yang dinamakan cinta, ketika BS lebih tahu luar dalam seluk beluk anak sang majikan? Mungkin definisi sayangnya sudah bergeser yah? (kok saya jadi skeptis gini sih :-))
Sampai-sampai saya pernah berpikir "gimana ya kalau hari Sabtu Minggu,
dijadiin hari bebas BS, bener-bener free campur tangan BS? Hanya kita dan anak, menciptakan sebuah hubungan yang berkualitas. Misalnya pergi tanpa membawa-bawa rombongan sirkus untuk mengasuh anak." Mungkinkah? Mungkin saja! Hanya 2 hari dari 7 hari dalam seminggu, hanya 8 hari dari 30 hari dalam sebulan, dst. Hanya untuk waktu sesedikit itu, relakah kita tidak memanfaatkannya semaksimal mungkin bersama buah hati kita? Kita bisa bekerja sama dengan suami kan? Bukankah mereka bukan hanya sekedar pencari nafkah, yang tiap bulan setor duit, tinggal tahu beres? Mereka adalah partner "in crime" :-), mereka adalah sahabat kita dan yang terpenting, mereka adalah ayah dari anak-anak kita yang juga harus bertanggungjawab dengan kehadiran sang buah hati, bertanggungjawab juga dengan pengasuhan anak-anak. Kita harus melakukan ini bersama-sama.
Hal-hal yang saya amati ini, ataupun tuangan pena mbak Neni dalam artikelnya, saya anggap sebagai penggambaran dari kenyataan yang ada sekarang walaupun agak sedikit sarkas dan tidak semua orang mengalaminya. Jangan merasa terpancing untuk marah. Karena hikmahnya, ya untuk membuka mata kita. "Oh, ternyata ada toh realita seperti ini." Seharusnya ini dijadikan bahan pelajaran, bukannya pengingkaran untuk kemudian menjadi defensif. Jangan malu untuk mengakui, waktu yang saya habiskan untuk mengasuh anak saya sangatlah kurang. Dari pengalaman orang lain kita belajar untuk menjadi lebih bijak, kan?
Apapun pilihan kita, untuk bekerja atapun menjadi FTM, mau pakai jas cantik atau bercelana pendek di rumah (meminjam istilah mbak Ina, hi there! *waving*) jangan sampai anak-anak menjadi terabaikan. Memang akan selalu ada konsekuensi dibalik semua pilihan-pilihan kita, tapi kalau kita punya komitmen yang kuat untuk tidak membuat anak-anak tersisihkan, kita pasti bisa menciptakan waktu-waktu yang berkualitas dengan buah hati kita.
Jadi jika ditanya Perempuan, Apa yang Kau Cari? Jawabannya kembali kepada bagaimana kita memberi makna pada pilihan kita dan keinginan membuat diri kita berarti. Manusiawi kan?
Terimakasih buat We R Mommies Indonesia yang telah memungkinkan diskusi ini ada. Juga buat mommies yang sudah rela meluangkan waktu untuk menuangkan isi pikiran-pikirannya. Walau sempat "menghangat," saya percaya melalui forum ini kita mendapat banyak pelajaran dan memetik hikmahnya. (Dita)
Subscribe to:
Posts (Atom)