Our previous journey: Kuwait

Tuesday, July 12, 2005

Brain Games u/ Bayi 9-12 bln

Permainan #1 : INI KAKI, SAYANG
Permainan ini dapat membantu bayi Anda mengenal anggota-anggota
tubuhnya.
Instruksi :
Tunjuk bagian-bagian tubuh bayi Anda, seperti kaki atau tangan. Iringi dengan lagu. Arahkan tangannya untuk memegang bagian tubuhnya.


Permainan #2 : BACA YUK!
Membacakan buku cerita adalah hadiah terindah yang dapat Anda berikan pada bayi Anda. Dapat Anda lihat, bayi Anda akan sangat tertarik dengan buku yang sedang dipegang.
Instruksi :
Tunjuk sebuah gambar di buku dan tanyakan padanya, “apakah itu?” Jika berulang kali Anda menanyakannya, ia akan mereka dalam memorinya. Tanyakan juga, “dimanakah…..?” Lihat apakah ia menunjuk pada gambar yang dimaksud. Biarkan bayi Anda bereksplorasi membuka tutup sebuah buku. Lakukan hal ini berulang-ulang

Permainan #3 : WAJAH GEMBIRA
Dorong bayi Anda untuk mengekspresikan perasaannya melalui cerita.
Instruksi :
Cari gambar orang dewasa atau bayi tertawa dan tersenyum dari majalah. Lekatkan di tembok dan ajak bayi Anda memandangi gambar tersebut sambil bercerita. Ceritakan padanya perasaan orang yang ada di gambar sambil tersenyum, ia akan berusaha mengingatnya.

Permainan #4 : AYO SAYANG, IKUTI MOMMIE!
Berbicara pada bayi dapat meningkatkan perbendaharaan katanya. Di sini mereka belajar imitasi.
Instruksi :
Katakan padanya sebuah kata, dan dorong bayi Anda untuk mengulangi. Jika ia berhasil mengulanginya, beri pelukan dan ciuman.

Permainan #5 : KELUAR MASUK KELUAR
Aktifitas ini mengajarkan bayi Anda mengenai konsep ruang. Masuk, keluar, di bawah, di atas, dll.
Instruksi :
Sediakan sebuah box/kotak. Masukkan mainan favoritnya ke dalam box. Bantu bayi Anda untuk mencari mainan yang dituju, kemudian keluarkan dari box. Kemudian masukkan lagi ke dalam box. Lakukan permainan ini berulang-ulang.(Dita)

Catatan : tulisan ini pernah dimuat dalam situs http://wrm-indonesia.org

Brain Games u/ Bayi 6-9 bln

Permainan #1 : WORTEL & KACANG POLONG
Permainan ini dapat mengembangkan koordinasi tangan dan mata bayi. Sekaligus melatih perkembangan motorik halusnya. Ketika ia berhasil mengambil makanan dan memasukkan ke dalam mulutnya, ia akan merasakan rasa “kekuasaan” dan kontrol, sehingga membuat mereka merasa hebat.

Instruksi :
• Letakkan wortel dan kacang polong rebus di depan bayi Anda.
• Iringi dengan lagu.
• Arahkan tangannya untuk mengambil makanan dan masukkan ke mulutnya.


Permainan #2 : NGACA YUK
Ketika Anda meletakkan cermin di hadapannya, bayi Anda belajar untuk mengenali dirinya. Sekaligus mengembangkan kemampuan visualnya.

Instruksi :
• Letakkan cermin di hadapan bayi Anda.
• Ikutlah bercermin bersamanya.
• Buat mimik wajah yang lucu dan tersenyum.
• Lihat reaksinya.


Permainan #3 : RASAKAN TEKSTUR YANG BEDA
Sensasi yang berbeda dari bermacam tekstur barang, dapat mengembangkan kemampuan koordinasi tangan dan mata bayi.

Instruksi :
• Kumpulkan mainan dengan bermacam tekstur. Plastik, wol, kain katun, dll.
• Dudukkan bayi Anda di depan mainan-mainan tersebut. Ajak ia untuk meraih salah satu mainan. Beri pujian saat ia berhasil menggapainya.
• Ketika ia sudah berhasil mengambil benda tersebut. Ceritakan padanya mengenai benda tersebut. Apa namanya? Terbuat dari apa? Dan apa rasanya jika disentuh? Lembutkah? Kasarkah?
• Bayi Anda memang belum mengerti apa yang Anda katakan, tapi ia akan belajar mengaitkan antara apa yang Anda katakan dengan benda yang ada di tangannya.


Permainan #4 : LAMBAIKAN TANGANMU, SAYANG
Banyak sekali kesempatan untuk mempraktekkan permainan ini. Mereka belajar membuat ikatan.

Instruksi :
• Lambaikan tangannya saat bertemu orang lain yang Anda kenal.


Permainan #5 : CILUK BA!!
Aktifitas ini mengajarkan bayi Anda, bahwa benda yang menghilang akan kembali lagi.

Instruksi :
• Dudukkan bayi Anda.
• Ambil handuk dan sembunyikan wajah Anda di balik handuk.
• Katakan “ciluk ba!” saat Anda membuka handuk.
• Lakukan juga pada bayi Anda. Letakkan handuk menutupi mukanya, kemudian buka dan katakan “ciluk ba!”
• Permainan ini sangat menyenangkan bagi bayi.

(Dita)

Catatan : tulisan ini pernah dimuat dalam situs http://wrm-indonesia.org

Brain Games u/ Bayi 3-6 bln

Permainan #1 : WARNA-WARNI YA, MOM?
Permainan ini dapat mengembangkan ketrampilan visual bayi Anda. Di saat ini, mereka senang melihat benda-benda yang berwarna-warni dengan bentuk yang beraneka ragam.


Instruksi :
• Ambil mainan berwarna dan gantungkan di depan wajahnya, gerakkan ke kiri dan ke kanan.
• Biarkan mereka menyentuh mainan/benda tersebut.
• Atau pegang tangannya untuk belajar menyentuh benda tersebut. Lakukan dengan diiringi nyanyian sederhana.


Permainan #2 : AYO BANGUN SAYANG
Ketika Anda menarik tangannya untuk bangun dari posisi tidur, Anda menciptakan dan membangun rasa percaya (trust) antara Anda dan bayi Anda. Latihan ini juga dapat membantu menguatkan otot-ototnya.


Instruksi :
• Pegang jari jemari bayi Anda, kemudian tarik dengan lembut ke arah depan, sehingga kepalanya dan sebagian dari tubuhnya ikut terangkat. Lalu turunkan.
• Ulangi dengan mengangkat kaki bayi Anda ke arah atas. Lalu turunkan.
• Akhiri dengan menggendong dan mengangkatnya ke atas.
• Arahkan sang bayi sehingga dapat menatap wajah Anda dan lakukan kontak mata serta katakan bahwa Anda mencintainya.


Permainan #3 : NGOBROL YUK
Banyaknya kata yang didengar bayi dapat mempengaruhi perkembangan intelegensia dan ketrampilan sosialnya. Ketika bayi Anda tahu bahwa Anda mendengarkannya, ia mengembangkan kemampuan berbahasa dan rasa percaya dirinya.


Instruksi :
• Mulailah dengan percakapan sederhana seperti “Selamat pagi, sayang.”
• Dan ketika bayi Anda memberikan respon, ikuti kata-kata/bunyi yang keluar dari mulut mungilnya. Berikan tanggapan Anda berupa senyum dan anggukan kepala.
• Di sini, ia belajar, bahwa Anda mendengarkannya.
• Lanjutkan dengan percakapan lain dan perhatikan setiap respon yang diberikan.


Permainan #4 : MOMMIE REKAM SUARAKU YA?
Permainan merekam suara bayi Anda, juga dapat mengembangkan kemampuan berbahasanya kelak.


Instruksi :
• Rekam suara bayi Anda saat ia sedang bersuara.
• Setelah itu perdengarkan padanya dan lihat respon yang diberikan.
• Apakah ia terlihat tertarik? Atau justru ikut menanggapi dengan “berbicara.”
• Jika ia menyukainya, coba merekam bunyi-bunyian lain yang ada di sekelilingnya.


Permainan #5 : CIAATT!! KARATE BABY!!
Aktifitas menendang membantu bayi mengembangkan kemampuan motoriknya.


Instruksi :
• Pakaikan kaus kaki berwarna-warni dan berbunyi (rattle socks), sehingga saat bayi menendang akan mengeluarkan bunyi-bunyian.
• Perhatikan reaksinya yang akan tampak kegirangan.


Permainan #6 : LEMPAR SANA LEMPAR SINI!!
Latih bayi Anda memindahkan mainan dari satu ke tangan ke tangan lainnya. Kegiatan ini membantu bayi Anda mengembangkan kemampuan otak, kemampuan motorik halus dan ketrampilan mengkoordinasikan gerakan tangan dan mata.


Instruksi :
• Letakkan mainan di salah satu tangannya.
• Beri contoh dengan memindahkan mainan dari tangan Anda yang satu ke tangan yang lain.
• Bantu bayi Anda memindahkan mainan dari tangannya yang satu ke tangan yang lain.
• Jangan lupa, di akhir permainan, cium kedua tangannya.


Permainan #7 : HOOP, SATU, DUA, TIGA, MARI BERNYANYI!
Menyanyi dan menari adalah dua kegiatan yang membantu otak bayi berkembang. Bayi sangat menyukai musik dan ritme nada. Seperti saat mereka masih berada di dalam rahim, bayi terbiasa mendengarkan ritme bunyi aliran darah dan suara detak jantung sang Ibu.


Instruksi :
• Gendong dan peluk bayi Anda, sambil menyanyikan sebuah lagu.
• Ajak berkeliling ruangan sambil terus bernyanyi.
• Bayi dapat merasakan kegembiraan Anda dan hal ini membuat mereka merasa gembira juga.


Permainan #8 : HEY, DI MANA MAINANKU MA?
Permainan menyembunyikan mainan bayi Anda, membantunya menstimulasi rasa ingin tahu, yang sangat penting baginya untuk belajar.


Instruksi :
• Pegang mainan favorit di hadapannya kemudian perlahan sembunyikan.
• Dorong bayi Anda untuk mencari dimana gerangan mainannya. Ajukan pertanyaan, “apakah ada di atas?” sambil menunjuk ke atas.
• Atau, “apakah ada di bawah?” sambil melihat ke arah bawah.
• Dan, “apakah di tangan Mama?” “Yeee…ini dia!!”
• Sejalan dengan perkembangannya, bayi Anda akan belajar mengikuti mainan yang akan disembunyikan.


Permainan #9 : MANA KAKIMU NAK?
Permainan ini dapat memperkuat otot-otot kaki bayi, sebagai persiapan untuk belajar jalan. Lakukan sambil bernyanyi untuk membantu bayi Anda belajar memusatkan perhatian sekaligus membantu menstimulasi perkembangan bahasanya.


Instruksi :
• Tidurkan bayi Anda pada alas yang lembut/empuk.
• Pegang pergelangan kakinya, tekuk dan luruskan kakinya sambil bernyanyi.


Permainan #10 : DANSA YUK DANSA
Kombinasi antara ritme nada dan gerakan membantu perkembangan otak bayi.


Instruksi :
• Pegang bayi Anda dengan posisi berdiri.
• Letakkan tangan Anda di bawah ketiaknya, tahan bayi Anda dalam posisi berdiri.
• Nyanyikan lagu atau mainkan musik untuk mengiringinya berdansa.

(Dita)

Catatan : tulisan ini pernah dimuat dalam situs http://wrm-indonesia.org

Brain Games u/ Bayi 0-3 bln

Aktifitas bermain bersama bayi adalah kegiatan yang menyenangkan dan menggembirakan. Bahkan bayi baru berusia 0 bulan pun sudah punya naluri untuk bermain. Mereka senang digendong, dipeluk, dibelai pipinya, dsb. Tulisan yang akan terbagi dalam 4 bagian, sampai bayi berusia 1 tahun ini, merupakan hasil rangkuman dari buku yang saya baca (Brain Games for Babies, Toddlers and Twos karangan Jackie Silberg).


Aktifitas-aktifitas yang akan dijabarkan di bawah ini, adalah kegiatan yang dapat membantu dan merangsang perkembangan otak buah hati tercinta, melalui permainan-permainan yang sangat sederhana tapi dalam sekali maknanya.


Ada tiga fakta mengenai perkembangan otak manusia. Yang pertama adalah, kapasitas seorang individu untuk belajar dan berkembang sangat bergantung pada hubungan yang saling memperngaruhi antara bawaan genetik dan proses pengasuhan anak. Kedua, otak manusia telah dibentuk dan dirancang sedemikian rupa untuk menerima pengalaman-pengalaman, bahkan sejak awal kehidupan seorang manusia. Ketiga, belajar adalah proses yang tak pernah berhenti dari kehidupan seorang manusia.


Dari ketiga fakta tersebut dapat disimpulkan bahwa otak manusia dapat berkembang secara maksimal, jika sejak dini distimulasi dengan baik. Untuk mendukung perkembangan otak bayi, yang perlu dilakukan orangtua adalah memenuhi semua kebutuhannya dengan segala atensi/perhatian dan kasih sayang. Bayi-bayi menjadi sangat bersemangat jika mereka tumbuh dalam lingkungan yang menarik untuk dieksplorasi, aman dan dikelilingi oleh orang-orang yang bisa merespon emosi dan kepandaian mereka. Semua dukungan ini bukanlah merupakan paksaan belajar untuk kemudian menjadikan bayi kita Baby Einstein, tetapi lebih kepada bentuk dorongan untuk mempersiapkan bayi kita menghadapi proses belajarnya di masa depan. Tak ada salahnya kan mempersiapkan landasan yang kuat sebelum kita membangun sebuah rumah?


Permainan #1 : PELUK AKU

Permainan ini dapat mengembangkan ikatan yang kuat antara Anda dan bayi Anda.


Instruksi :
• Peluk bayi Anda sambil nyanyikan sebuah lagu.
• Katakan betapa Anda menyayanginya.
• Cium pipi dan hidungnya.


Permainan #2 : BICARALAH PADAKU

Ketika Anda berbicara dengan bayi Anda, Anda berusaha menciptakan komunikasi dengannya. Ini adalah dasar dari kemampuan berbahasanya kelak.

Instruksi :
• Katakan hal-hal sederhana padanya, seperti “halo selamat pagi atau bayiku cantik.”
• Arahkan sang bayi sehingga dapat menatap wajah Anda dan lakukan kontak mata.


Permainan #3 : MUSIK DONG

Musik dipercaya dapat menenangkan bayi.


Instruksi :
• Perdengarkan musik pada bayi Anda.
• Pilih musik instrumentalia yang lembut atau lagu pengantar tidur.
• Musik dengan nada yang berulang-ulang diyakini dapat menenangkan bayi, karena suaranya seperti suara-suara yang sering ia dengar di dalam rahim.


Permainan #4 : KEMANA YA PERGINYA?

Jika sering dilakukan, permainan ini dapat membantu perkembangan kapasitas otaknya.

Instruksi :
• Pegang mainan atau obyek berwarna-warni di depan bayi.
• Pelan-pelan gerakkan obyek tersebut ke kiri dan ke kanan sambil berbicara kepadanya tentang obyek tersebut.
• Gerakkan juga dari arah atas ke bawah.


Permainan #5 : MUKA MOMMIE LUCU YAH?

Bayi sangat suka memperhatikan wajah orang, terutama wajah orang-orang yang mencintai dan dicintainya.

Instruksi :
• Coba berbagai ekspresi wajah dan bermacam-macam suara dari mulut Anda untuk membantu perkembangan penglihatan dan pendengarannya.
• Anda bisa mencoba :
o Menyanyi dengan mempertegas bentuk mulut.
o Mengedip-ngedipkan mata.
o Buat suara-suara seperti batuk atau bersin.


Permainan #6 : WAH KASARNYA!

Latih bayi Anda merasakan berbagai macam tekstur dari sebuah obyek. Ini akan melatih dan memperkaya pengetahuan akan dirinya dan lingkungan di sekitarnya.

Instruksi :
• Ambil kain yang halus seperti sutra dan kasar seperti handuk, kemudian letakkan di tangannya. Biarkan ia merasakan perbedaannya.


Permainan #7 : GANTI POPOK YUK

Kegiatan ini sangat bagus untuk membantu perkembangan motorik bayi Anda.

Instruksi :
• Saat mengganti popoknya, letakkan obyek yang menarik perhatian dalam jarak pandang matanya.
• Setelah selesai memakaikan popok, gendong si kecil dan bantu meraih obyek tersebut.


Permainan #8 : LUCUNYA SUARA MOMMIE

Suara dengan nada tinggi yang lembut diyakini dapat meningkatkan detak jantung bayi yang menandakan bahwa ia merasa aman dan bahagia.

Instruksi :
• Coba berbicara atau menyanyikan lagu dengan nada yang berganti-ganti. Kadang tinggi, kadang rendah. Dan lihat reaksinya terhadap dua jenis suara yang berbeda itu.


Permainan #9 : PEGANG JARI MOMMIE

Permainan ini dapat memperkuat otot tangan dan jari-jari bayi Anda, sekaligus merangsang perkembangan kemampuannya mengikuti sebuah obyek.

Instruksi :
• Biarkan bayi Anda menggenggam jari Anda.
• Setiap kali ia berhasil menggenggam, katakan sesuatu yang positif padanya, seperti, “wah kamu sudah kuat yah” atau “pintarnya anak mama.”



Permainan #10 : BUNYI APA TUH

Kombinasi antara kegiatan penglihatan dan pendengaran, membuat bayi Anda mempelajari bahwa ada hubungan di antara keduanya.


Instruksi :
• Pegang mainan berbunyi, yang biasa disebut rattle. Dekatkan pada wajahnya.
• Bunyikan mainan tersebut sambil gerakkan ke kanan kiri atau ke atas bawah.
• Biarkan bayi Anda mencoba memegangnya.


Bagaimana? Mudah sekali kan? Cara-cara yang sangat murah dan sederhana, tetapi efeknya sangat besar dan berarti bagi buah hati kita. (Dita)

Catatan : tulisan ini pernah dimuat dalam situs http://wrm-indonesia.org

Fenomena Tindihan

Banyak di antara kita pernah mengalami masalah "tindihan" saat sedang tidur. Leher rasanya seperti dicekik, dada terasa sesak, badan tak bisa  bergerak, berteriak pun tak mampu dan biasanya disertai penampakan mahluk halus. Gejala apakah ini? Apakah benar kita sedang "ditumpangi" mahluk lain? Apakah kita "diganggu" mahluk dari dunia lain? Terlepas dari benar tidaknya masalah tersebut, tulisan ini mencoba menilik "tindihan" dari sisi ilmiah dan penjelasan logis.



Serba-Serbi Tindihan


A. Definisi Tindihan


Secara Mitologi, "Tindihan" adalah pengalaman seseorang "ditumpangi" atau "diduduki" dan "diserang mahluk halus.


Secara ilmiah dikenal dengan istilah "Isolated Sleep Paralysis" (ISP). Biasanya terjadi pada saat tidur baru saja dimulai. Seorang individu yang mengalami tindihan alias ISP akan merasakan seperti terjaga dalam keadaan sadar, tetapi tidak mampu bergerak atau menggerakkan anggota tubuhnya, tidak mampu berbicara/teriak dan tidak mampu menangis. Seringkali disertai perasaan cemas dan ketakutan yang hebat, sehingga berusaha untuk "bangun" tapi tidak bisa dan tidak berdaya. Mereka yang mengalami ISP, dilaporkan mengalami mimpi buruk dan halusinasi, melihat keberadaan "mahluk" dari dunia lain.


B. Gejala-gejala ISP


Kondisi ini sering terjadi pada individu yang tidur dengan posisi terlentang, wajah menghadap ke atas dan hampir nyenyak dalam tidurnya atau dalam keadaan hampir terjaga dari tidur. Dapat berlangsung hanya dalam beberapa detik atau lebih lama. Seringkali disertai perasaan "sesuatu yang mengerikan" menekan daerah leher atau dada, sehingga mengalami kesulitan nafas, tak mampu berteriak dan bergerak. Banyak yang menyebutnya sebagai "teror di tengah malam".


Rasa sesak dan seperti dicekik muncul karena dalam tahap R.E.M terjadi ketidaksinkronan antara lalu lintas udara dalam sistem pernafasan dengan tingkat kesadaran seseorang.


Sedangkan rasa takut, yang sering divisualisasikan sebagai keberadaan mahluk lain, diduga dialami seorang individu karena sedang berusaha mengatasi dan mengindentifikasikan rasa takut dan teror yang disimpannya dalam kehidupan nyata.


Seorang peneliti ISP, Al Cheyne dari University of Waterloo, menduga bahwa ISP adalah sejenis halusinasi yang dialami seorang individu, karena adanya malfungsi dari tahap R.E.M (Rapid Eye Movement) dalam tidur seseorang. Malfungsi ini bisa disebabkan oleh stres, kelelahan fisik luar biasa dan kurang tidur. Ia juga menemukan fakta bahwa ISP selalu terjadi pada orang-orang yang tidur terlentang. Menurutnya , mengubah-ubah posisi tidur dapat mengurangi resiko terserang ISP.


Diperkirakan setiap orang pernah mengalami ISP, sekali atau dua kali dalam hidupnya. Mereka yang sering mengalami tekanan psikis dan fisik akan lebih banyak mengalami ISP. Kondisi geologis dan lingkungan kerja juga dapat mempengaruhi seseorang sehingga mengalami "tindihan." Misalnya mereka yang bekerja dalam shift lalu kekurangan tidur dan memiliki pola tidur yang tidak teratur. Beberapa penelitian bahkan menemukan, perasaan positif yang sangat kuat, seperti jatuh cinta atau setelah melakukan hubungan seks, dapat pula menyebabkan ISP.


Saat ini penelitian juga diarahkan kepada pengaruh keadaan geomagnetik dan/atau keadaan geologis terhadap fenomena ISP. Para peneliti mengemukakan teori, bahwa orang-orang yang tinggal di kawasan yang secara geologis aktif, seperti di daerah sekitar Samudera Pasifik, yang dikenal sebagai "Ring of Fire", lebih sering mengalami ISP.


C. ISP dalam Berbagai Budaya


C1. Indonesia Dikenal dengan istilah "Tindihan" (baca : ditekan/ditindih). Menurut kepercayaan Jawa Kuno, tindihan disebabkan oleh naiknya roh-roh halus dari tempat penyimpanan air di bawah tanah ke bawah tempat tidur seseorang.
C.2. Spanyol Orang-orang Spanyol menyebutnya "Pesadilla" dengan penjelasan serupa dengan "Tindihan".
C.3. Jepang "Kanashibari" demikian mereka menyebutnya. Peneliti masih berusaha menemukan kaitan letak geologis Jepang di kawasan pasifik dengan fenomena tindihan.


D. Pencegahan dan Cara Mengatasi


D.1. Stres
Usahakan hidup sehat, baik secara fisik maupun psikis. Stres diduga penyebab terbesar ISP. Atur pola tidur menjadi lebih teratur. Jangan makan dalam jumlah kebanyakan, minum alkohol/kafein dan merokok menjelang tidur, sehingga dapat mengganggu pola tidur.
D.2. Posisi Tidur
Posisi tidur terlentang diduga menjadi salah satu penyebab ISP. Usahakan ganti-ganti posisi tidur.
D.3. Membuat Gerakan Kecil
Beberapa orang menyarankan untuk membuat gerakan mata dengan cepat, agar dapat keluar dari situasi ISP.
D.4. Membuat Gerakan Mental
Jika seseorang mengalami ISP, ia akan merasakan susah bergerak atau menggerakkan anggota tubuhnya. Padahal ini bukan pergerakan fisik yang sebenarnya, melainkan gerakan mental. Para ahli menganjurkan untuk terus berusaha "melawan" dan menggerakkan anggota tubuh melalui kekuatan pikiran.
D.5. Pengobatan Medis
Diperlukan jika seseorang terlalu sering mengalami ISP.



E. Pertanyaan-pertanyaan seputar ISP www.geocities.com/jorgeconesa/Paralysis/sleepQA.html.


1) Is there any evidence of factors which cause SP (stress, anxiety, depression, sleep deprivation, etc)?


Plenty. Traditional as well as recent (including my decade-long research) investigations have connected psychological and physical stress, anxiety, depression, and particularly sleep deprivation, to SP, even in the so-called normal population (those individuals who only report a couple of SP episodes in their entire lives). Generally speaking, any major life transitions (including dramatic shifts in sexual activity) that could generate stress are all factors to be considered in SP. The challenge now is to tie these triggers to neurochemical events and to SP. One possible connection is in the fact that antidepressant drugs such as imipramine have been proven useful in treating SP. Imipramine improves the availability of serotonin, a neurotransmitter that is also involved in both "agitated depression" and in REM sleep (and thus in SP).


2) Why does it almost always happen while in a supine position?


It doesn't always (not even almost always). It is true that a lot of subjects report SP while in a supine position. My answer to that is tied to a theme that I will use to approach your other questions. I refer to SP as "bounded lucidity" to describe both the paralysis and the self-awareness of the paralysis experience. In a supine position one still has "both ears to the world" so to speak, as opposed to laying on one side and depriving oneself from stimuli. A supine position is antithetical to the more natural fetal sleeping position, when humans first experience REM sleep. In a sense, a supine position is not a very natural sleeping position at all (even though lots of folks do it) when you think about it in these developmental terms. Functionally speaking, sleeping on one's back may preserve a state of vigilance and therefore lead to the greater probability of self-awareness during REM sleep. Several pre-dormittal behaviors that demand some degree of vigilance, like reading or watching TV, are done from this position. If one moves back and forth from being awake to REM states (which is very easy to do since they both reflect beta cortical activity), the separation between both states could become non-existent. Finally, a lot of my subjects do report SPs in a supine position when they take naps. Once again the dormittal context is not one of "I intend to sleep in a fetal, primal position," but rather one of "Ooops, imagine that, I fell asleep on my couch while waiting for..." Under these 'propitious' circumstances, once again, vigilance could be maintained into REM proper. Kleitman, the co-discoverer of REM sleep (1955), and others have shown that there exists a basic rest activity cycle (BRAC) throughout the 24-hour cycle. The same 90-minute cycle is maintained by the alternating contribution of non-REM and REM periods. In this sense, being awake and being asleep are: a) subordinate to a larger physiological arousal event, and b) on a continuum. Finally, breathing patterns may also be altered while in a supine position, as in the case of sleep apnea, giving rise to sub-optimal, intermittent rest.


3) Could you describe the neural activity during SP?


With the risk of oversimplifying, SP can be described as the self-awareness that one has slipped into REM sleep. So in order to understand SP, one has to understand REM sleep. Rapid Eye Movement sleep, REM, is a concerted co-activation (and deactivation) of several medullar and forebrain systems. This concerted activation (and deactivation) leads to multiple REM sleep phenomena: inhibition of certain motor neurons; inhibition of sensory input; rapid eye movements; activation of brainstem neurons that control the movement of facial muscles; and important to the hallucinatory experiences associated with SP, the activation of visual pathways. These events normally occur when neurons in the pons (a medullar structure) become active after a period of non-REM sleep (slow-wave, synchronized sleep). All these events are also associated with beta cortical activity; the sign of an alert brain. In fact, REM sleep used to be called "paradoxical sleep" because it resembles beta cortical activity in awake brains during a sequence that is preceded by almost "comatose" cortical non-activity. At least eight distinct medullar and forebrain structures are known to be involved in sleep and arousal in general, and (at least) three major neurotransmitters mediate operation of these systems (serotonin, acetylcholine, norepinephrine). To the preceding description one has to add the fact that SP sufferers are able to enter these states bypassing the non-REM stages of sleep.


4) What is the difference between dream images and hallucinations? Which are SP sufferers experiencing?


It depends on your perspective. By that I mean that if SP is self-awareness of a natural motor-inhibitory state, occurring during REM (so that we cannot act out our dreams), then one hallucinates of course. To put it simply: if I "wake up" with total self-awareness during the normal sleep paralysis of REM and experience a dream, it would seem as a hallucination to me. In this sense dream images (or other actual events occurring in the bedroom of the sleeper) are interpreted as 'real', as hallucinations. (Hence the alien abduction phenomena and its misinterpretation as 'real.') Thus, normally occurring dream images happen concurrently with enhanced self-awareness, leading to increased awareness and the intensification of ANY reality. However, distinguishing between images versus other emotions may be more relevant to the study of SP. For example, "feelings" of oppression, chest pressure (the "old hag", the incubus) have been reported in stage four of non-REM sleep, not in REM. But then again, immediately after stage four, REM sleep follows with the greater probability of introducing the visual imagery absent in a generalized "feeling of pressure" in the earlier stage. If these are sequential and rapid events, the overall report from the dreamer's perspective might include information about the "feeling" of pressure and the images that follow.


5) What is the difference between SP just before falling asleep and SP just upon waking up?


In a lot of cases, Sleep Onset Paralysis is an indicator of sleep deprivation or associated with narcolepsy (in narcoleptics). From MY theoretical perspective, phenomenologically speaking, it makes no real, functional difference. That is, subjects' intense imagery and anxiety is equal in both cases. My subjects report the sleep onset paralysis more than the latter. In terms of the imagery that might be associated with SP, sleep onset paralysis is such an abrupt transition from awake-cortical-activation to REM-cortical-activation (beta to beta in a nanosecond!), that the line between the real-external and the real-internal might not be distinguishable.


6) What is the difference between isolated SP and SP in narcoleptics?


Isolated Sleep Paralysis is reported by non-narcoleptics. Depending on what study you read, between 5 and 16% of the normal population report Isolated Sleep Paralysis without any other symptoms. Going back to my "bounded lucidity" theoretical frame of reference, self-awareness coincidental with REM cycles is common to both narcoleptics and non-. Nor all narcoleptics experience SP. The continuum of narcolepsy encompasses symptoms from being unusually tired during the day to extreme cataplexy and loss of body tone.


7) What are some of the latest developments in studies conducted on SP?


Ohayon et al (1999) did a comprehensive study looking at many variables associated with SP. Although tilted toward the clinical side of SP, it is a remarkable study. Takeuchi et al's (1992) provided evidence that SP can be induced by interrupting sleep. This opens the door for the hypothesis that multiple trigger events can contribute to arousal during sleep, and thus to a greater chance of SP. But the classic literature is still pertinent to present-day efforts. For example, the study by K. Firestone (1985) on the phenomenon of the "Old hag" in Newfoundland is a very fascinating story. Interesting and scientifically inspiring work is being done by research teams in Canada and the UK as well. Humbly, my own unorthodox ideas is that SP, being the phenomenon of an unstable electrochemical machine, the sleeping human brain, is entrainable by naturally occurring geomagnetic phenomena. I don't know the end of this story yet, but the initial chapters are tantalizing. Imagine a truly ecological explanation of dream events that includes the effects of geomagnetic field changes occurring across historical time or from moment to moment! If this happens, dream events, in addition to being introspective phenomena, can be used as a psycho-historical, or if you wish, a psycho-social indicator. Could moments of historical (or social) instability be (retrospectively) analyzed via archival dream reports and be found to be contiguous with abrupt geomagnetic changes? Have the arts, prophecy, or epic narratives been precipitated by such circumstances? This is indeed an exiting time for SP theory and research!


8) Do we know of any animals which have SP? (Dogs, of course, are well known to have narcolepsy)


I don't know of animals other than humans who experience SP. That would be a hard scientific case to make because to me, SP and self-awareness go hand in hand. One would have to show self-awareness (and a means of reporting this experience) in animals while showing evidence for SP. Of course, researchers might show EEG data of cats, going into REM sleep very fast and suggest that it is SP. How does one prove it though, without the language, without the subjective report? Without the story-telling, there are only squiggly lines. As you indicate, dogs do it and goats too, by the way (are narcoleptic)! Are they self-aware during the episode? Is there cognition going on during these lapses? Let's give them the benefit of the doubt and say...perhaps. Those are interesting empirical questions. But if Fido dreams of alien abductions, aliens must be real (a truly independent, trans-species confirmation).


9) What advice would you give to prevent SP? What about during an SP attack?


NONE! I have suffered from chronic ISP since my teens and now, in my late forties, having conquered the fear of the paralysis, I find that SP can be a gateway to lucid dreaming. However, if the person is new to the experience and the fright is too intense, there are several "techniques" that our subjects have shared with each other and with me that can control the episode. What all these techniques have in common is the manipulation of attention. One very effective technique is to concentrate on a point two inches below the navel while breathing calmly. If this trick can be learned, the SP episode slips into a regular dream or the person wakes up. Of course any attentional technique may prove to be equally useful.


10) If SP sufferers are only experiencing dream images and/or hallucinations, how come they all describe very similar things, such as figures, hearing footsteps, etc?


Most adult dreamers, male and female (Van de Castle, 1994), report dreams where "figures" or sinister entities are after them. Homo Sapiens is, by virtue of his/her social condition, Homo Paranoidensis too. To the extent that normal dream imagery without SP visits these themes, why wouldn't, then, SP (as any other REM) phenomena be about the same things we dream about? The constancy, the invariants are in the "normal" dream reports to begin with. And then there is the mundane explanation: in a state of beta cortical activity (lucidity) while registering information dually from inner and outer worlds, neighbors will walk across rooms and any of these real outside elements could mingle with dream experiences culminating in a "hybrid" reality (where real footsteps are heard).


11) Is there a connection between the "sensed presence" in SP and in normal waking life (eg. people sensing someone is looking at them or behind them)?


Do you mean a correlation between stranger-in-the-street paranoia and the FOP (feeling of presence) during SP? I don't know that this relationship has been established. Of course psychoanalysis has had a field day with SP experiences to the extent that any insecurity feeling, feelings of persecution and other subconscious processes were assumed to give rise (causally) to SP (they may or may not). There is an interesting note related to your question though. In a famous study by Dement (1976), subjects who were deprived of their sleep for four days became paranoid. Some of them believed that the experimenters were trying to harm them (well, I would too after four days without sleep). Interestingly, teenagers who are living under the effects of a developmentally inflicted sort of paranoia, the "imaginary audience", do not report more FOPs than adult sufferers (see below).


12) At what age does SP most occur and why?


Puberty seems to be the starting point for a lot of SP experiences, although children as young as 10 report SP phenomena. Given my own data, there is a critical window for an increase of SP reports. This critical window happens between ages 18 and 27. This seems to coincide with the transition between adolescence and young adulthood. This period of human development is coincidental with major life transitions, including peak sexuality, dramatic changes in sleep patterns, new professional or educational obligations, extraordinary physical output, etc. Any of these causes of stress can alone be a trigger for SP. Outside of this developmental window, the likelihood that a person will report SP episodes is a stable trait: a small percentage of individuals report SP episodes throughout their lives. Critical to a Melatonin Hypothesis* that I proposed, the elderly do not report SP as frequently. The pineal gland, which produces melatonin during the night, ossifies, calcifies with age.


13) Is there a genetic link to SP?


SP is definitely FAMILIAL. The fact that SP is familial allows for that probability. Dement observed and reported familial effects while studying narcolepsy in the seventies, and low and behold, today the same team has isolated the chromosome responsible for the syndrome (at least in dogs). But one has to be cautious about drawing causal connections between the occurrence of SP in families and a genetic link per se. It could be that family habits (nurture) and not a gene predispose some individuals more than others. Now that the Stanford team (headed by Dr. Mignot) has isolated the gene responsible for narcolepsy in an animal model, that gives us hope that the same can be done for SP. The gene was located on the 12th chromosome.


14) Why does SP and narcolepsy seem more prevalent in Japan? Are there certain countries that have higher number of cases than others and why?


I have argued that "special populations" may hold the key to understanding SP across the board (in all fairness, other researchers have argued that much). If there are genetic or cultural (or both) components to SP, these populations represent important case studies to isolate these variables. One also has to consider the possibility that some cultures pay more attention to the phenomenon and therefore may over-folklorize SP, making its incidence seem unusually high. On the other hand, and biologically speaking, examples of "bottle necks" in the gene pool exist for behaviors and physiological propensities. Island nations such as Japan, Indonesia, and Fiji that report SP as part of their folklore were also isolated from larger populations for extended periods in history. Their gene pools could over represent sleep disorders. Additionally, African (Nigeria) countries have reported a higher than normal (Ohaeri et al, 1992) occurrence of SP. Other examples of island or remote populations are to be found in the classical SP report by Firestone in Newfoundland (1985), reports by mental-health providers treating the Inuit in the artic regions of Canada, and finally, reports from folklore in Central America. Yes, there are many reported "bottle necks".


15) Do you think SP explains many cultural folklores, such as "old hag" and today, alien abductions?


Yes, I do. We should first (and secondly) explain the seemingly fantastic via common sense scientific explanations. SP hypotheses must be testable, falsifiable. If we use the term SP to include a combination of phenomena (sleep paralysis, hallucinations, etc.) then there is no question in my mind that the "old hag" experience is SP. With the same qualifications, there is no question in my mind that Hawaiian Night Marchers experiences are SP. There is no question in my mind that Kanashibari in Japan is SP. There is no question in my mind that Indonesian Tindihan is SP. There is no question in my mind that the sleeping dead of Fiji are accounts of SP. There is no question in my mind that reports from the shamans in the Canadian Artic or those from the Mayans in Guatemala are also accounts of SP. Are alien abductions accounts of SP? Yes, those too, with a twist: the traumatic memories of a newborn looking at the environment of an operating room, with fuzzy vision, being confronted by chopped bodies dressed in uniform garbs and masks.


16) In your opinion, is SP a disorder that needs to be looked at considering it is ultimately harmless?


Depending what you mean by "looked at", yes and no. Any psychological-medical phenomenon of interest should be looked at because "it's there". More importantly, any disturbance, if it leads to dysfunction (it prevents one from holding a steady job, conflicts with family life, produces intense, unbearable emotions, etc.) for more than six months, needs to be addressed. It is an issue of wellness. In that sense "it needs to be looked at". However, for most of the subjects that I get information from, SP is at best a temporary and harmless event even though it is very disturbing to them. For the fewer who have had SP throughout their lives, they also manage. Some have incorporated the more creative aspects of SP into their lives (lucid dreaming). I have lived a fairly normal and productive life with chronic SP without medical intervention.


17) In your experience, what is the most extreme SP patient you have come across?


The subject, a female, reported up to half a dozen SP's in a month and up to 20 in a year. She was (is) very sensitive to any alterations of routines in her life. She experiences the FOP's, and other hallucinations, but she knows they are part of her dream life; she knows they are not real. Of course, I am taking her reports at face value.


18) What questions remain a mystery in SP? What fascinates you about SP?


Since I abhor mysteries, I would rephrase your question and say that there are three basic questions that need to be answered (for me). They are merely "unknowns" at the moment. One, we need a psychobiological explication of the SP condition across a wide variety of experiences, cultural settings, and personal situations (there might be several neurological mechanisms). I am putting my money on the notion that Melatonin synthesis will explain some of the neuro-chemical events that give rise to SP. Two, it would be very handy to have a genetic screen for SP, just for the fun of it. But this is a pie-in-the- sky kind of wish because, luckily, 99.99% of SP sufferers are in no immediate danger. Three, there is also the connection between SP and creativity. Can the experiencing of SP on a regular basis be a predictor of creativity? Finally, the one aspect of these experiences that continues to fascinate me is that SP is a portal to an extreme form of personal entertainment. That is, SP can be a gateway to lucid dreaming and as such, it can add an entire new element of nightly experience. If you permit me this indulgence, and quoting myself: "...this state of bound lucidity and cortical beta coherence does more than agonize in paralysis. Self-awareness can adapt in the creative state of hypnagogic hallucinatory states and gives rise to multigenerational and cross-cultural dream stories. The 'ghosts', the 'incubi' and the 'hags' in turn invent culture." If culture is partly invented by dreams, by SP reports, then future culture can be made better (?) by controlling them. Stephen LaBerge, the world authority on lucid dreaming, has expressed sentiments along the same lines.


Sumber :


http://www.geocities.com/jorgeconesa/Paralysis/sleepnew.html http://www.angelfire.com/co/SleepParalysisLucid/tindihan.html http://www.geocities.com/jorgeconesa/Paralysis/sleepQA.html. http://www.dreamsnightmares.com/sleepparalysis.html http://spedic.com/sleepparalysis.html
http://watarts.uwaterloo.ca/~acheyne/S_P2.html http://watarts.uwaterloo.ca/~acheyne/intruder.html http://watarts.uwaterloo.ca/~acheyne/incubus.html http://watarts.uwaterloo.ca/~acheyne/prevent.html

(Dita)

Catatan : tulisan ini pernah dimuat dalam situs http://wrm-indonesia.org

Friday, April 29, 2005

Aparat pun juga Gamer

Kadang gue suka mikir, aparat kepolisian itu kalo lagi stress cari hiburannya apa ya? Atau kalau sedang menghabiskan waktu senggang ngapain aja.

Image hosted by Photobucket.com
Sedikit terjawab ketika gue ke Puri Mall hari ini dan masuk ke toko jual game console dan pernik-perniknya. 3 orang aparat penegak hukum lengkap dengan atribut seragamnya dan senpi-nya nan kinclong mengkilat. Sebuah kombinasi yang lumayan ajaib bagi gue dan temen-temen gue pas lihat pemandangan itu. Dan rata-rata pengunjung yang datang menyempatkan diri memperhatikan 3 aparat tersebut yang lagi asyik masyuk bermain bola di console X-Box.

Image hosted by Photobucket.com Image hosted by Photobucket.com
Mungkin mereka sedang suntuk terus pingin beli game? Mungkin mereka lagi coba-coba game yang akan mereka belikan untuk anak mereka? Mungkin mereka sedang bertugas memonitor software-software bajakan? Mungkin mereka sedang 'disewa' pemilik toko untuk mengamankan sesuatu? Mungkin mereka memang dari sananya gamer?
Lepas dari semuanya, selamat bertugas kembali untuk melindungi dan melayani masyarakat, pak! Waspadalah!
(pinot)

Friday, April 22, 2005

Antre Bonus

Orang bela-belain ngantre biasanya demi sesuatu yang mendesak atau ditunggu-tunggu. Coba saja lihat pengantre minyak tanah, beras atau sembako. Atau pengantre tiket pesawat, tiket kereta api atau tiket pertunjukan musik. Bagi yang ngantre mau pun yang ngelihat antreannya (apalagi kalo panjang) kesannya jadi heboh dan mengundang perhatian.

Image hosted by Photobucket.com
(click for larger image)

Setelah makan siang ditraktir Tomo Kopyor di Pizza Hut dekat kantor, segerombolan karyawan RCTI melakukan kegiatan demonstratif dengan cara mengantre di depan ATM BCA kantor. Buat non-karyawan RCTI hal tersebut hanya memberi kesan heboh semata, tapi bagi karyawan RCTI hal tersebut menandakan satu hal yang sangat amat-amat ditunggu-tunggu, BONUS KARYAWAN telah tersedia di ATM! Sudah sekian lama sesama karyawan saling bercanda "Sudah ngecek ATM belum?" - maksudnya bonus sudah masuk ATM atau belum. Terbayang semua masalah keuangan bisa tertanggulangi, bayar kontrakan rumah, bayar hutang kartu kredit, benerin komputer, benerin rumah, benerin mobil, DP kredit rumah, bayar tunggakan handphone dan pengeluaran-pengeluaran ekstra lainnya. Sayang, semua bayangan tersebut harus ditelan pahit-pahit karena bonus belum juga terwujud. Antrean tersebut hanya sensasi belaka, dilakukan oleh mereka yang juga menunggu dan menantikan hadirnya sang Bonus.

Oh bonus, kapankah kau datang ke ATM ku?
(pinot)

Monday, April 18, 2005

Hayo Laki atau Perempuan?

Pernah baca di sebuah majalah, untuk menebak anak yang sedang kita kandung, ada beberapa cara. Salah satunya adalah dengan menghitung umur kita ditambah bulan pertama kehamilan.

Gini nih caranya. Hitung umur pada saat kita hamil + bulan ke berapa kita hamil. Misalnya umur saat hamil, 27 tahun ditambah awal kehamilan bulan Maret (bulan 3). Nah, tambahin deh tuh 27+3=30. Kalau hasilnya genap kemungkinan anaknya cowok dan sebaliknya, kalo ganjil kemungkinan bayi yang dikandung berjenis kelamin cewek.

Coba deh! Buat gue dan beberapa temen sih bener. Seru aja for fun!

Friday, March 18, 2005

Taman Kanak-Kanak DPR

16 Maret 2005. Lagi-lagi, om-om anggota DPR menunjukkan kelakuannya yang sekelas anak-anak. Ricuh di parlemen. Terus terang males banget liatnya. Udah speechless dan males nonton TV, gue jadi cenderung apatis. Ceritanya, Fraksi PDIP menolak kenaikan harga BBM, tapi mungkin karena merasa gak didenger aspirasinya, jadi gondok, akhirnya salah satu anggota naik ke atas meja, nuding-nuding di depan ketua DPR. Bisa ditebak, abis itu kayaknya banyak yang kesulut, jadi panas lah situasinya.

Berikut petikan komentar masyarakat atas kejadian tersebut (gue sendiri males komentar euy!) :

Rakyat (R) 1 : Biarin aja! Mereka lagi main sandiwara kok. Kalo gak gitu kan gak kerja!!

R 2 : Yang gak setuju itu beneran mau mbela rakyat, ato ada maksud terselubung?

R 3 : Mending DPR dijadiin ring tinju aja!

R 4 : Gimana mo kasih contoh ke rakyat?!

R 5 : Kayak gitu minta gaji naik 15 juta!!

R 6 : Bikin rakyat makin susah.

R 7 : Itu sirkus ya?

R 8 : Orang-orang yang belum matang berpolitik tapi udah nyemplung di sana.

R 9 : Hari gini masih tawuran?

Arwen (5 mos) : Mamin!! Itu temen-temen Arwen!! Kok pada main di DPR?

Friday, March 11, 2005

Perempuan, Apa yang Kau Cari?

Bermula dari pertanyaan sederhana "Perempuan, Apa yang Kau Cari?" sebuah refleksi memperingati Hari Perempuan Internasional 8 Maret oleh Neni Utami Adiningsih, yang dilemparkan Agnes (hi Nes! *waving*). Dan secara singkat dapat saya katakan merupakan penggambaran dari realita sekarang mengenai Ibu bekerja dan masalah pengasuhan anak.

Suatu hal yang menurut saya, tak akan pernah habis diperbincangkan dan diperdebatkan, karena selalu mengundang pro dan kontra. Tulisan mbak Neni (hi mbak! salam kenal), memang cukup kritis, radikal dan potensial "menyentil" kuping pembacanya (khususnya perempuan berkeluarga). Beliau mempertanyakan apa sih sebenarnya motivasi perempuan berkeluarga untuk bekerja, sehingga akhirnya masalah pengurusan dan pengasuhan anak menjadi terbengkalai. Di mana akhirnya anak-anak ini jadi lebih banyak menghabiskan waktu-waktunya tanpa kehadiran kedua orangtua mereka.

Saya sendiri tidak mau mempermasalahkan apa alasan perempuan bekerja. Ada banyak motivasi "mulia" di balik itu, di luar alasan sekedar ingin melarikan diri dari urusan domestik rumah tangga. Banyak yang harus bekerja karena tuntutan ekonomi, karena ingin berkembang, ingin mengaktualisasikan dirinya, ingin berguna untuk lingkungan sekitarnya, ingin mewujudkan cita-citanya. Saya pikir ini adalah hal-hal yang sangat manusiawi.

Yang justru menggelitik saya adalah masalah pengasuhan anak, bukan hanya oleh Ibu bekerja tapi juga Full Time Mommy (FTM). Kita tidak bisa mengeneralisasi bahwa Ibu bekerja tidak becus mengurus anak, banyak kasus seorang FTM tidak menyadari bahwa ia telah melewati masa-masa keemasan perkembangan anaknya. Kenapa? Ada yang mampu, punya uang berlebih, tinggal bayar orang (baca: Baby Sitter (BS)) untuk mengasuh anaknya. Akhirnya kebablasan dan merasa keenakan. Semuanya tinggal tahu beres.

Lalu apa yang selalu digaungkan dan dijadikan senjata Ibu bekerja ataupun FTM, bahwa hari libur adalah hari bersama Ibu (orangtua) dan jargon "yang penting kualitas bukan kuantitas", kenyataannya juga beberapa kali saya temui hanya omong besar belaka. Terus terang di saat saya dan suami punya waktu untuk mengajak anak kami keluar, saya selalu memperhatikan lingkungan di sekeliling saya. Seperti yang pernah saya temui, seorang anak menjerit2 di mal, sementara Ibunya asik-asik ngopi, anaknya ditenangkan
baby sitter. Di lain waktu saya temui seorang Ibu yang kebingungan tidak tahu ukuran dan merk dot anaknya. Kali lain, saya lihat seorang anak menunggu bersama BS dan driver, menunggu orangtuanya yang sedang makan-makan. Dan itu semua terjadi di hari Sabtu Minggu, yang notabene adalah hari bersama orangtua, hari di mana orangtua katanya ingin menunjukkan kualitasnya bersama anak-anak mereka, kan. Ternyata? jargon-jargon itu mereka telan sendiri. Ada yang bilang, mana ada orangtua yang gak sayang anak-anaknya. Pada kenyataannya yang saya temui berkali-kali di lapangan, itukah yang dinamakan sayang dan cinta di jaman sekarang ini? Itukah yang dinamakan cinta orangtua, ketika anaknya menangis menjerit-jerit, Ibunya cuek aja dengan segelas kopi panasnya yang sedap? Itukah yang dinamakan cinta, ketika BS lebih tahu luar dalam seluk beluk anak sang majikan? Mungkin definisi sayangnya sudah bergeser yah? (kok saya jadi skeptis gini sih :-))

Sampai-sampai saya pernah berpikir "gimana ya kalau hari Sabtu Minggu,
dijadiin hari bebas BS, bener-bener free campur tangan BS? Hanya kita dan anak, menciptakan sebuah hubungan yang berkualitas. Misalnya pergi tanpa membawa-bawa rombongan sirkus untuk mengasuh anak." Mungkinkah? Mungkin saja! Hanya 2 hari dari 7 hari dalam seminggu, hanya 8 hari dari 30 hari dalam sebulan, dst. Hanya untuk waktu sesedikit itu, relakah kita tidak memanfaatkannya semaksimal mungkin bersama buah hati kita? Kita bisa bekerja sama dengan suami kan? Bukankah mereka bukan hanya sekedar pencari nafkah, yang tiap bulan setor duit, tinggal tahu beres? Mereka adalah partner "in crime" :-), mereka adalah sahabat kita dan yang terpenting, mereka adalah ayah dari anak-anak kita yang juga harus bertanggungjawab dengan kehadiran sang buah hati, bertanggungjawab juga dengan pengasuhan anak-anak. Kita harus melakukan ini bersama-sama.

Hal-hal yang saya amati ini, ataupun tuangan pena mbak Neni dalam artikelnya, saya anggap sebagai penggambaran dari kenyataan yang ada sekarang walaupun agak sedikit sarkas dan tidak semua orang mengalaminya. Jangan merasa terpancing untuk marah. Karena hikmahnya, ya untuk membuka mata kita. "Oh, ternyata ada toh realita seperti ini." Seharusnya ini dijadikan bahan pelajaran, bukannya pengingkaran untuk kemudian menjadi defensif. Jangan malu untuk mengakui, waktu yang saya habiskan untuk mengasuh anak saya sangatlah kurang. Dari pengalaman orang lain kita belajar untuk menjadi lebih bijak, kan?

Apapun pilihan kita, untuk bekerja atapun menjadi FTM, mau pakai jas cantik atau bercelana pendek di rumah (meminjam istilah mbak Ina, hi there! *waving*) jangan sampai anak-anak menjadi terabaikan. Memang akan selalu ada konsekuensi dibalik semua pilihan-pilihan kita, tapi kalau kita punya komitmen yang kuat untuk tidak membuat anak-anak tersisihkan, kita pasti bisa menciptakan waktu-waktu yang berkualitas dengan buah hati kita.

Jadi jika ditanya Perempuan, Apa yang Kau Cari? Jawabannya kembali kepada bagaimana kita memberi makna pada pilihan kita dan keinginan membuat diri kita berarti. Manusiawi kan?

Terimakasih buat We R Mommies Indonesia yang telah memungkinkan diskusi ini ada. Juga buat mommies yang sudah rela meluangkan waktu untuk menuangkan isi pikiran-pikirannya. Walau sempat "menghangat," saya percaya melalui forum ini kita mendapat banyak pelajaran dan memetik hikmahnya. (Dita)

Sunday, February 27, 2005

Baby Blues ooo Baby Blues

Masih segar dalam ingatan saya pengalaman melahirkan putri pertama kami. Saya mengalami proses yang cukup lama dan sulit, karena pembukaan mulut rahim saya tergolong lambat. Rasa lelahnya benar-benar tak terbayangkan dan tak bisa dijelaskan.

Tiga hari di rumah sakit, saya manfaatkan untuk memulihkan tenaga. Dan mulai “berkenalan” dengan peri kecil kami. Ketika tiba waktunya pulang ke rumah, mulai bermunculan pikiran-pikiran tak terkontrol yang memenuhi kepala saya. Ada rasa bahagia, rasa senang, rasa haru saat mendekap mahluk mungil ini, sekaligus bercampur dengan rasa tak mampu mengurus anak dan rasa lelah yang membuat saya sering menangis tiba-tiba, tak jelas penyebabnya. Awalnya saya tak menyadari apa yang saya alami ini. Saya hanya mencoba menangis sepuasnya di pundak suami saya. Lalu terlintas dalam pikiran saya, inikah yang namanya “baby blues”? Apakah saya mengalami “baby blues”?
Akhirnya saya berusaha mencari tahu. Ternyata saya tidak sendiri, hampir 80% wanita yang baru pertama kali melahirkan, pernah mengalami hal ini. Setidaknya kenyataan ini sedikit memperingan beban pikiran saya. Dan berkat dukungan dari suami beserta keluarga, saya berhasil melewati masa penuh haru biru itu.

Apa sih “baby blues” itu?
Kelahiran bayi membuat perubahan besar pada tubuh dan hidup kita. Cukup masuk akal kalau dikatakan bahwa penyebab utamanya adalah perubahan hormon-hormon yang drastis. Kadar estrogen dan progesteron turun mendadak setelah peristiwa kelahiran. Inilah yang disinyalir menjadi penyebab munculnya depresi atau “baby blues” atau biasa juga disebut postpartum blues alias sindrom depresi paska melahirkan.
“Jabatan” baru sebagai “new Mommy”, yang berarti pula tanggung jawab baru yang sebelumnya tak pernah kita bayangkan, membuat kita terkejut.
Keletihan setelah melahirkan ditambah lagi dengan kesibukan mengurus bayi, yang seakan tidak ada habisnya, makin membuat kita merasa tidak mampu memenuhi tuntutan untuk menjadi seorang Ibu.
Munculnya perasaan kehilangan diri kita yang dulu juga lazim dirasakan. Bersamaan dengan lahirnya bayi, kita merasakan tidak sebebas dulu lagi. Belum lagi masalah penampilan yang juga berubah. Sebelumnya kita gemuk karena hamil, sekarang kita hanya gemuk saja. Baju-baju sebelum kita hamil tidak ada yang muat lagi, sementara kita tidak ingin lagi mengenakan pakaian hamil.
Satu-satunya kenyataan yang menyenangkan adalah hal ini tak akan berlangsung lama. Paling-paling bertahan antara satu minggu hingga satu bulan.

Bagaimana kita tahu kita mengalami “baby blues”?
Gejala-gejala umum yang biasa dirasakan adalah :
1. kecemasan,
2. sedih atau perasaan kehilangan,
3. stres dan merasa tegang,
4. tidak sabaran dan mudah marah,
5. menangis tanpa sebab,
6. mood yang berubah-ubah,
7. sulit berkonsentrasi,
8. sulit tidur,
9. merasa lelah yang berlebihan,
10. tidak ingin keluar rumah, malas berdandan, dan malas membersihkan rumah.

Bagaimana menghilangkan sindrom ini?
“Baby blues” biasanya hilang dengan sendirinya. Bisa memakan waktu antara satu minggu hingga satu bulan. Beberapa hal yang dapat membantu kita melewati masa-masa ini adalah :
1. Bercerita pada orang yang pernah punya pengalaman sama, atau pada orang yang kita percaya, seperti Ibu, suami, dan sahabat.
2. Jika kondisi fisik kita sudah lebih baik, cari udara segar atau pergi refreshing bersama suami atau sahabat. Beri kesempatan pada diri kita sendiri untuk bisa merasakan kebahagiaan dan kesenangan.
3. Ikut kelompok-kelompok seperti mailing list, yang bisa men-support kita.
4. Minta para suami untuk membantu kita melaksanakan tugas sehari-hari dan libatkan dalam hal mengurus anak. Katakan pada mereka, bahwa kita butuh dukungan yang besar dari pasangan kita. Ceritakan pada mereka bahwa ini adalah pengaruh hormon dan tak akan berlangsung lama.
5. Terima bantuan yang ditawarkan orang-orang di sekeliling kita. Semua orang pasti paham, mengurus bayi pertama kali adalah pengalaman yang cukup berat.
6. Coba untuk tidur atau istirahat. Kurang tidur dapat memperparah keadaan ini. Minta bantuan Ibu atau saudara kita untuk menjaga bayi, sementara kita tidur.
7. Tak usah berpikir semuanya harus sempurna. Bayi adalah prioritas kita saat ini. Jika tak sempat membereskan rumah, tak usah memaksakan diri. Toh, semua orang juga bisa maklum. Saat ini, kita harus melepaskan atribut kita sebagai mrs. Perfect, mrs. Neat, mrs. Clean, dll, yang dapat makin membebani kita.
8. Makan makanan sehat. Beri tubuh kita nutrisi yang baik, apalagi kalau kita menyusui bayi kita.
9. Cintai diri kita sendiri. Menjadi Ibu dan melahirkan bayi adalah anugerah terindah yang pernah kita rasakan. Berbanggalah dengan “profesi” baru ini.

Depresi paska melahirkan yang parah, yang memerlukan terapi profesional, sangat jarang terjadi. Bila depresi ini berlangsung lebih dari sebulan, disertai kesulitan tidur, kurang nafsu makan, perasaan putus asa, keinginan untuk bunuh diri dan dorongan untuk menyakiti bayi sendiri, segeralah cari bantuan profesional.

Referensi :
1. www.thefamilycorner.com
2. Waiting for Bebe : A Pregnancy Guide by Lourdez Alcaniz.
3. What to Expect When You’re Expecting by Arlene Eisenberg, H. Murkoff, Sandy E. Hathaway.

Thursday, February 24, 2005

Behind the Scene Promo Metro Pagi

Hari ini, sesuai dengan yang dijadwalkan, syuting promo Metro Pagi akan dilaksanakan di Bogor. Mengambil tempat di hotel Novotel, yang suasananya asoy buat para honeymooners. Settingnya memang pas banget dengan apa yang dimau. Agak-agak natural lah. Dan Tante Fe meminta bantuanku buat jadi model.
Image hosted by Photobucket.com
Aku janjian sama Tante Fe dijemput di RCTI jam 9 pagi. Rencananya kita memang akan berangkat agak pagian ke Bogor. Jam 08.30, aku udah sampai di RCTI. Sambil nunggu, browsing-browsing dulu di internet. Kira-kira jam 09.30, Tante Fe telpon, katanya baru bangun, semalem abis lembur sampe jam 3 pagi. Waks! molor deh waktunya!
Image hosted by Photobucket.com Image hosted by Photobucket.com
Sekitar jam 10 kurang, Tante Fe sampe di lobby Annex RCTI, kita langsung cabut ke METRO TV. Preparation ini itu, beli perbekalan juga buat di jalan, kelar kelar baru jam 12 siang...hooeeehhh...gak berasa dah siang aja!!
Akhirnya kita baru berangkat sekitar jam 1an, itupun pake acara ketinggalan beberapa stuff properti syuting, jadi musti balik lagi ke kantor (Halo Wi :-), next time bawa asisten yah, biar lo gak kedodoran).
Image hosted by Photobucket.com
Sampe di Novotel Bogor sekitar jam 2an, mulai setting lampu, kamera dan lokasi. Dan aku juga mulai didandanin. And you know what? Ternyata masih ada yang ketinggalan! Properti jam antik. Buset deh musti ngambil ke Jakarta lagi...ohh No! (gak bikin call sheet ya, bu?) Setelah berembug, ternyata barang yang ketinggalan, diusahain dicari aja deh di Bogor. Akhirnya nemu juga tuh jam antik.
Take demi take berlangsung lumayan mulus, walaupun beberapa kali sempet mandeg buat diskusi dengan kameraman dan lightingman dulu (kok gak ada storyboardnya?). Gak terlalu banyak long shot dan full shot. Kebanyakan close up dan gambar-gambar padat.
Image hosted by Photobucket.com
Scene pertama adalah syuting di kamar mandi. Gak bugil lohh :-) Cuman pengen ngeliatin kaki orang keluar dari bak mandi sambil ngambil handuk.
Berikutnya adegan minum teh pagi-pagi sambil nonton TV, di teras hotel.
Image hosted by Photobucket.com
Setelah itu, ngambil set di tempat tidur...hihiihiiii kesannya bokep banget! Padahal cuman pengen nge-shoot orang matiin jam weker.
Sekitar jam tujuh-an, syuting selesai and it's a wrap! Sebelum balik ke Jakarta, dinner dulu di Novotel. Dah laper banget, dari siang belum makan.
Sampai Jakarta jam 10 malem, aku didrop di RCTI lagi, nyamperin Pinot.
Dan hasilnya? Tunggu aja on-airnya di METRO TV yah *wek* Buat penggemar gue, siap-siap kecewa...heheheheheheee. This time kalian cuman bisa menikmati tangan dan kakiku!

Sunday, February 20, 2005

Mendidik Anak

Tadi pagi saat sedang mendengarkan radio female, ada topik pembicaran menarik mengenai cara mendidik anak. Salah satu narasumbernya adalah bapak Krisnamurti seorang motivator dan mindsetter. Kalau boleh saya rangkum hasil pembicaraan penyiar dengan bpk Krisna adalah :

Mendidik anak itu gampang, menurut pak Krisna (wwhoooaaaa...bisa ditimpuk ibu2 sejakarta tuh bapak...huehehehehehe...kidding!!!) seperti menginstal program pd komputer yg kosong. Apa yg akan kita instal, program itulah yang akan dijalankan anak kita.

Menurut beliau, kuncinya adalah memahami bahasa otak anak. Bahasa otak anak adalah melalui bahasa gambar. Mereka seperti kita juga, akan mengasosiasikan kata-kata dengan gambar pada otaknya. Misalnya jika kita mendengar kata pisang, apa yg muncul dalam otak kita? tentunya gambaran buah pisang kan dalam otak kita? Lalu kalo kita ditanya buah polokokok. Kita akan mengernyitkan dahi, apakah itu? KIta tidak mengetahuinya karena memang kita belum pernah mendapatkan informasi/gambaran buah polokokok itu seperti apa. Jika saya katakan buah itu seperti gelas, tentunya di lain waktu jika anda ditanya seperti apa buah polokokok itu, tentunya anda akan menggambarkannya seperti gelas. Begitu pula dengan anak kecil. Apa yg kita ajarkan, itulah yg mereka terima.

Sering kali kita mendengar orgtua berkata pd anaknya, "jangan nonton tv dekat2!!" mereka akan menangkapnya/menggambarkan dalam otaknya sebagai nonton tv itu harus dekat2, karena mereka tdk mengerti arti kata "jangan", maka jadilah mereka menonton tv lebih dekat. Semakin dibilang jangan, semakin ngotot mereka untuk menonton tv dalam jarak dekat. Atau kasus lain, "jangan main air!" maka mereka menterjemahkannya sebagai main air. Kita yg tidak memahami bahasa otak mereka akan berpikiran "kok ngeyel bgt ya ni, anak! gak bisa dibilangin!"

Prinsipnya, menurut pak Krisna, Don't think what u don't want, tapi think what u want! Jadi jika kita melarang sesuatu pada anak kita, usahakan jangan menggunakan kata "jangan" tapi arahkan mereka, kenapa kita melarang mereka melakukan hal itu. Misalnya jangan nonton tv dekat2! diganti dengan "nontonnya di sini ya nak, duduk yang manis, supaya matanya tidak rusak." Selalu beri alasan kenapa kita melarang anak melakukan suatu hal dan arahkan mereka.

Ngomong-ngomong soal larangan, pantesan yah, kalo kita bilang ke suami kita "jangan pulang malem2" pulangnya tetep aja malem yahhhh...wakakakakakakakakssss!!!

Hhhhhmmm pembicaraan yg menarik menurut saya, sayang hanya berlangsung sebentar.(Dita)

Tuesday, February 15, 2005

Menyapa Jiwa Anak-Anak Kami

Sore itu saya mengajak Arwen, putri kami, dan suami berkunjung ke sebuah Plaza di wilayah Jakarta Selatan. Setelah berkemas-kemas dengan segambreng gembolan Arwen, kami memacu kendaraan menuju Plaza tersebut. Sesampai di sana, kami memutuskan untuk duduk-duduk sambil ngopi-ngopi saja di sebuah kedai kopi. Sambil menikmati secangkir Cafe Mocca panas, kami bercanda ria dengan putri kami, maklum Arwen sudah mulai senang bercanda dan tertawa-tawa.

Tak lama kemudian, terlihat sepasang suami istri datang dengan dua anak, satu berusia sekitar 5 tahunan, yang satu lagi masih bayi, beserta seorang baby sitter-nya. Mereka memilih duduk di samping meja kami. Saya bertemu pandang dengan sang Ibu dan melemparkan senyum, ia pun membalas senyum saya. Mereka kemudian asyik dengan aktifitas masing-masing. Kami terhanyut kembali dalam "pembicaraan" dengan Arwen. Tiba-tiba saya terusik dengan suara tangisan bayi. Saya palingkan kepala ke meja sebelah, ternyata si bayi memang menangis dan tampaknya agak mengamuk. Lima belas menit berlalu, dan tangisan sang bayi tak kunjung mereda. Si baby sitter terlihat sibuk dan bingung menenangkan bayi mungil itu. Gendong sana, gendong sini, bujuk sana, bujuk sini. Sementara itu, tahu apa yang dilakukan Ibunda tercinta? Tak tampak raut wajah risau dari mimik mukanya, asyik menyeruput secangkir kopi panas dan berbincang-bincang dengan suaminya. Hanyut dalam urusan mereka sendiri. Lima menit kemudian, entah karena sudah selesai urusannya, atau karena tak enak bayinya menangis terus, mereka memutuskan pergi. Saya dan suami hanya melongo saja memandangi kepergian suami istri itu, dengan sang baby sitter yang menggendong bayi, mengikuti di belakang mereka.

Saya kembali teringat, beberapa minggu yang lalu saya bersama suami berkunjung ke rumah rekan kerja suami saya. Sambutan tuan dan nyonya rumah cukup hangat. Sang istri dan saya terlibat pembicaraan khas ibu-ibu, biasalah soal rumah tangga, perawatan anak, dsb. Tiba-tiba terlihat putri kecilnya yang cantik berlari ke arah sang mama, bergelayut manja di pundak mamanya. Saya mengajak si kecil berbicara dan ia menjawabnya dengan mata berbinar. Tak lama, ia menarik-narik baju mamanya, minta diambilkan sepeda mini di sebelah mamanya. Si Ibu asyik berbincang dengan saya, sementara konsentrasi saya terpecah, merasa terganggu dengan rengekan sang anak yang tidak ditanggapi ibunya.

"Minta sama suster sana!" Sontak saya kaget mendengar kata-kata itu keluar dari mulut sang Mama. Saya bergumam dalam hati, "Hei, kamu Ibunya dan sepeda itu ada di sebelahmu! Apa susahnya mengambilkan sebentar untuk anakmu!" Yang membuat saya makin takjub, ia sempat berkeluh kesah, karena bayinya yang berusia 5 bulan sering rewel, sehingga membuatnya merasa pusing tak bisa tidur. Ia menyampaikannya dengan nada bicara seolah kehadiran sang bayi mengganggu kehidupannya. Tapi ia merasa beruntung memiliki baby sitter yang dapat mengurus dan mengatasi anak-anaknya.
Ingatan saya kembali berputar ke beberapa waktu silam, saat saya bersama teman sedang kongkow-kongkow di sebuah mal. Pandangan saya terhenti pada seorang Ibu muda yang kerepotan membawa barang-barang belanjaan hasil berburu diskonnya. Dua meter di belakangnya seorang baby sitter mendorong kereta bayi dengan seorang bayi cantik di dalamnya. Sang Ibu menghardik si baby sitter untuk berjalan lebih cepat. Trenyuh hati saya, sang Ibu lebih rela berberat-berat ria dengan barang belanjaannya dibandingkan menggendong atau mendampingi bayinya sendiri.

Dari kejadian-kejadian itu, yang terus berputar-putar dalam benak saya dan suami malam itu, hati saya tergelitik untuk melontarkan pertanyaan. Apakah ini sebuah kewajaran, menyerahkan sepenuhnya urusan anak kepada baby sitter, dengan asumsi mereka sudah membayar dan berhak menggunakan semaksimal mungkin jasa baby sitter? Istilah sekarangnya "ogah rugi." Seorang Ibu datang ke penyalur, minta baby sitter, bayar, pulang. Dan baby sitter bertugas mengurusi semuanya, dari mengganti popok, memberi makan anak, menenangkannya jika rewel dan mengamuk. Anak menangis, tinggal teriak, "suster!" dan suster pun datang. Instan sekali! Ibu hanya tahu beres saja. Lalu tugas Ibu sebagai orangtua di mana? Apakah rasa cinta itu hanya ditunjukkan dengan mencukupi segala kebutuhan materi sang anak semata? Asal semua kebutuhan fisiknya cukup, ada baby sitter yang mengurus semua kebutuhannya, ya sudah! beres semua kan?!

Ok, katakanlah mereka orang sibuk, sehari-hari bekerja, berangkat pagi dan pulang malam di kala dalam kedua waktu tersebut sang buah hati tertidur lelap. Tapi tak ada salahnya toh, di akhir pekan mereka meluangkan waktu yang sangat berharga itu dengan buah hati mereka tanpa sepenuhnya "direcoki" baby sitter? Apa susahnya sih mendekap bayi mereka sendiri dengan penuh cinta? Apa susahnya membelai dengan lembut kulit mereka yang halus? Mengisi jiwanya dengan canda tawa, menenangkan tangisannya dengan mata kita yang berbinar-binar, bersyukur memiliki anugerah terindah seperti mereka.
Tidakkah terpikir dalam benak-benak mereka, akan jadi apa anak-anak mereka suatu hari nanti? sadarkah mereka bahwa anak-anak mereka tak pernah tersentuh jiwa dan fisiknya oleh orangtua mereka sendiri?

Saya sendiri bukan pengguna jasa baby sitter, karena saya memutuskan berhenti bekerja dan memilih untuk mengurus dan mengasuh anak saya sendiri. Pengorbanan yang sangat sangat berarti hasilnya bagi saya. Pengorbanan yang terbayar dengan senyum kecil yang menghiasi wajah our little precious. Akan tetapi saya juga tidak menyalahkan para orangtua yang karena suatu hal atau keadaan harus menggunakan jasa baby sitter. Hanya saja, sebaiknya kita menjadi bijaksana dalam mengasuh buah hati kita.
Terlalu naifkah saya memandang semua ini, memandang ke-instan-an ini? Membayangkan suatu hari nanti generasi anak-anak kita menjadi orang-orang yang tak punya hati, generasi yang tidak "beres" tingkah lakunya. Jangan salahkan mereka, anak-anak ini!
Dan malam itu, ketika peri kecil kami telah tidur, saya mengecup pipinya sambil berbisik dalam lelapnya, "Mommy tak akan membiarkan jiwamu hampa, Nak."(Dita)



"If we could raise one generation with unconditional love, there would be no Hitlers. We need to teach the next generation of children from Day One that they are responsible for their lives. Mankind's greatest gift, also its greatest curse, is that we have free choice. We can make our choices built from love or from fear."
(Dr. Elizabeth Kubler-Ross)

Potensi Penonton Menentukan Rasa Baru

Salah satu sarana hiburan yang langsung dapat kita nikmati saat dilanda stres adalah televisi. Sayangnya, saat ini jenis hiburan di kotak ajaib ini, hampir semuanya sama, terutama sinetron. Semua stasiun televisi mengetengahkan sinema elektronik dengan tema yang tidak jauh-jauh dari dunia ABG, perebutan warisan, anak cacat mental yang tersiksa, kisah ibu yang kejamnya minta ampun pada anak tirinya, sampai pada kisah-kisah yang menyisipkan kuntilanak di dalamnya.

Lantas apa yang janggal? Hampir semuanya melegalkan kekerasan! Baik secara fisik maupun verbal. Tak sedikit, sinetron yang memproklamirkan dirinya sebagai sinetron anak-anak, juga mengumbar pemukulan secara fisik dan perendahan harga diri melalui kata-kata berbau kebun binatang. Anehnya biarpun ngomel, banyak yang terhipnotis untuk tetap terus menonton. Yang pasti, karena pihak pembuat mempunyai strategi pemasaran dengan memajang muka-muka ganteng dan ‘bening’, menampilkan kemewahan yang banyak jadi mimpi masyarakat kita, serta alur cerita yang berkelok-kelok sehingga membuat penasaran.

Bertambahnya stasiun televisi, berarti bertambah pula daerah okupasi dunia sinetron. Tapi bukan berarti tema-tema yang ditawarkan semakin variatif. Coba saja perhatikan, ceritanya masih berkutat di situ-situ saja, dengan kekerasan fisik dan verbal sebagai bumbu penyedap yang paling dominan. Keadaan seperti ini berlangsung terus selama bertahun-tahun. Yang sangat menyedihkan adalah, tidak adanya kesadaran para produsen akan potensi efek yang ditimbulkan terhadap masyarakat, terutama anak-anak, yang notabene adalah imitator sejati. Tidakkah mereka bayangkan, bahwa hasil karya mereka dapat mengarahkan seseorang untuk berbuat hal yang sama, karena menurut penonton, itu wajar, kok…lha wong di sinetron-sinetron aja diumbar dan menjadi bagian dari hidup sehari-hari!

Membicarakan hal ini, sepertinya tak akan pernah ada habisnya. Lagi-lagi rating dan selera pasar yang dijadikan tameng bagi para produser. Alasan bahwa masyarakat kita senang dengan hal-hal seperti itu, selalu dijadikan dalih untuk terus memproduksi sinetron-sinetron dengan tema kekerasan dan mistik. Bisa ditebak, ujung-ujungnya duit yang berbicara. Siapa yang tidak ngiler, hanya dalam semalam sebuah tayangan sinetron bisa meraih untung hingga milyaran rupiah, baik bagi stasiun televisi sebagai penayang ataupun bagi para produsen.

Pihak produser hendaknya menjadi kreatif mencari celah membentuk selera pasar baru, tentunya yang mempunyai potensi efek positif. Jangan sampai produser pasrah terhadap keinginan penonton. Karena penonton senangnya dengan hal tersebut, akhirnya dijejalilah mereka dengan muatan-muatan berbau negatif yang itu-itu terus.

Lihat saja sinetron Keluarga Cemara atau Si Doel Anak Sekolahan. Mereka sukses membentuk “rasa” baru dalam adonan kue sinetron Indonesia. Berarti kemungkinan untuk membentuk selera masyarakat ke arah yang lebih baik, sebenarnya ada kan?

Di sisi lain, masyarakat sebagai penonton juga harus berperan aktif, menjadi penonton yang cerdas dan kritis. Penonton yang bisa selektif memilah-milih mana tayangan yang terbaik bagi dirinya. Kalau tidak berkenan di hati, ya tidak usah ditonton. Toh, tak ada yang memaksa untuk terus nongkrong di depan pesawat televisi.(Dita)

Tren Fesyen dan Musik yang Tak Terpisahkan

Suatu sore sambil menyeruput segelas mocha latte, saya ngobrol santai dengan seorang teman mengenai proses perkembangan musik dari berbagai era. Mulai dari tahun ‘60-an, ‘70-an, ‘80-an, ‘90-an sampai sekarang. Bicara musik tanpa bicara tren berpakaian pada setiap masa rasanya tak lengkap. Karena mau tak mau pembicaraan nyerempet-nyerempet ke soal gaya hidup, yang ujung-ujungnya pasti nyangkut juga ke soal fesyen.

Dari pembicaraan tersebut, saya melihat adanya keterkaitan antara perkembangan musik dengan gaya berpakaian di setiap era. Tahun ’60-an ditandai dengan dandanan yang serba klimis, berjas rapi dan bersepatu kulit. Bertolak belakang dengan ciri khas musiknya, yang sudah mulai bereksperimen dengan berbagai aransemen, menggunakan variasi chord gitar dan ketukan drum dalam satu lagu, sebagai sebuah penyempurnaan dari era Elvis sebelumnya. Masa ini dipelopori oleh The Beatles, salah satunya. Yang menarik, gaya berbusana pada saat itu sebenarnya masih belum berani lepas dari masa sebelumnya. Tampaknya mereka ingin menunjukkan kesan, walaupun musik mereka berontak dari pakem, tapi penampilan tetap bersih, rapi dan alim.

Tahun ‘70-an sampai ‘80-an adalah jaman pemberontakan dan pendewasaan pemberontakan. Eksperimennya bukan cuma di partitur musik tapi juga alat musik yang digunakan. Gaya hidupnya cenderung liar dan berantakan, menggambarkan pemberontakan total dengan eksisnya paham seks bebas, kokain, narkotik, cinta, dan perdamaian. Flower generation adalah bagian dari wujud pemberontakan tersebut. Mode busananya pun menggambarkan kebebasan dengan mengadopsi gaya hippies yang anti kemapanan. Serba longgar dengan motif-motif berani dan aksesoris kalung-kalung panjang adalah ciri khas era ‘70-an sampai awal ‘80. Kesan ‘anak manis’ sudah ditinggalkan.

Era ’80 sampai ’90 adalah masa pendewasaan total. Pencarian tentang gaya musik sudah lebih tenang dan tidak menggebu-gebu. Masing-masing musisi mulai mencari alirannya sendiri. Ada heavy metal, R&B, rap, hip hop dan alternatif. Gaya berpakaian mulai variatif sesuai dengan aliran musik. Tidak terikat pada pakem tertentu dan berani berekspresi melalui cara berpakaian.

Dari kenyataan itu dapat saya lihat, bahwa betapa inspiratifnya dunia musik bagi para pencipta tren fesyen dunia. Musik bukan hanya sekedar sebagai pengiring para peragawati berlenggak-lenggok di atas catwalk. Ide-
ide segar terus mengalir seiring dengan berkembangnya industri musik dunia. Musik dan fesyen memang tidak bisa dilepaskan.(Dita)

Geliat Dunia Fesyen vs Gejolak Dunia Global

“In the worst of time, life went on with style.”

Pernyataan John Galliano tersebut menggelitik pikiran saya. Hmm…ada benarnya juga. Dari barat ke timur perang berkecamuk di mana-mana, semua kebakaran jenggot mencari osama bin laden sampai hambali, yang katanya biang kerok terorisme.
Di sisi lain, para fashionista dan socialite juga bergeliat memburu hasil karya para desainer ternama. Berlomba-lomba mencari rancangan Dior dan Louis Vuitton, untuk dapat tampil stylish and classy. Yang satu mengangkat senjata, yang lain menyingsingkan lengan untuk bisa mendapatkan gaun elegannya Armani.

Bertolak belakang dengan situasi perang, koleksi dari panggung peragaan Milan dan Paris untuk sesi fall/winter 2004/2005, justru merayakan kebebasan berekspresi dan menjunjung tinggi nilai-nilai keindahan dan hidup. Hal ini menggambarkan betapa situasi dunia yang penuh konflik, tak berpengaruh terhadap kreatifitas para desainer untuk terus berkarya, bahkan bisa menjadi sumber inspirasi mereka.

Tak dapat dipungkiri, hidup seperti medan magnet, ada kutub positif, ada kutub negatif. Saya tidak bicara baik buruk, tetapi menerjemahkannya sebagai dua hal yang berbeda. Jika di satu belahan dunia ada yang mati-matian mempertahankan kekuasaan dengan nyawa sebagai korbannya, saya maklum saja jika di belahan lainnya ada manusia-manusia yang terus berfantasi untuk menciptakan karya-karya indah.

Lelah rasanya, melihat dunia yang terus bergejolak, merasakan hidup yang tak lagi aman dan nyaman. Seperti merasakan sepotong coklat yang lumer di mulut, manisnya hidup tetap dapat dinikmati dengan hadirnya kreasi para perancang dan pencipta mode dunia. Bukannya tidak menghargai mereka yang sedang dilanda musibah, tapi salut kepada energi berekspresi yang tak pernah ada matinya. Semuanya adalah wujud kerinduan ingin merasakan kebebasan sebagai manusia, bebas dari rasa takut dan tertindas.

Saya pribadi angkat topi kepada para desainer fesyen karena telah mewarnai kehidupan ini dengan begitu indah. Membuat selalu ada cara untuk menikmati hidup. Bukankah harus selalu ada keseimbangan dalam segalanya? Bahkan dalam kondisi yang terjelek sekalipun.(Dita)

Sunday, February 13, 2005

Teror Sepeda Motor

Kenapa ya rata-rata pengendara sepeda motor itu identik dengan 'pecicilan' & 'nyelonong' seenak udel bodong? Walau traffic light bilang merah, tetep aja wweeerrrrrrr.... bikin kaget kendaraan lain yang dapat giliran hijau. Kalau terjadi sesuatu, srempetan misalnya si pengendara motor yang ngamuk ngamuk.
Kalau lagi macet, pengendara sepeda motor pasti bagai air mencari celah untuk terus maju maju dan maju walau sampai harus melawan arus. Begitu stuck, berhenti di jalur berlawanan, menumpuk dengan pengendara sepeda motor lain menyumbat arus.
Belum lagi yang sepeda motornya dimodif racing. Makin 'pecicilan' ngga pakai etika lalu lintas pula, not to mention suara knalpotnya yang berdesibel tinggi bikin kuping sobek.
Kenapa sih mental pengendara sepeda motor sedemikian payahnya? Apa karena ingin buru-buru cepat sampai tujuan, karena gue tahu naik sepeda motor lebih melelahkan dan memabukkan (menghirup knalpot kendaraan lain)? Apa karena sudah merasa dimaklumi pengendara jenis lain jadi diperbolehkan untuk 'nyelonong'? Apa terlalu gampang untuk mendapatkan SIM kendaraan roda dua sehingga mentalnya ngga terjaga atau ter-filter? Apa aparat yang berwenang sudah ikut memaklumi kondisi ini?
Beberapa hari lalu, lagi macet-macetnya seperti biasa para pengendara sepeda motor mengambil jalur berlawanan untuk menghindari antrian. Kontan saja beberapa kali nyaris terjadi tabrakan, bahkan sesama pengendara sepeda motor. Dalam hati gue, "Polisi apa ngga ada yang ngatur beginian ya? Ancur banget sih disiplin pengendara-pengendara ini?" Ngga lama berselang, seorang anggota polisi ikut dalam sliweran slonongan tersebut. Bahkan bareng-bareng melawan arus. Gosh.
Image hosted by Photobucket.com